Pemilu - Caleg perempuan DIY bertarung melawan politik uang

id agnes caleg perempuan

Pemilu - Caleg perempuan DIY bertarung melawan politik uang

Pembukaan diskusi politik "Persiapan, Harapan, peran Caleg Perempuan di Parlemen" di Kantor Berita Antara Biro Yogyakarta, Kamis (3/4). Antara Foto/Sigid Kurniawan/sgd/14

Jogja (Antara Jogja) - Calon anggota legislatif perempuan daerah pemilihan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, harus bertarung dan melawan praktik politik uang yang sangat kuat.

"Di daerah pemilihan (dapil) nya praktik jual beli suara dikenal dengan `bitingan` atau membeli suara orang per orang sangat kuat. Saya antipolitik uang. Ini adalah tantangan bagi caleg perempuan di tengah situasi politik saat ini," kata Caleg DPRD DIY dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan nomor urut tiga dapil Gunung Kidul Dwi Rusjiati Agnes.

Dalam diskusi `Persiapan, Harapan dan Peran Caleg Perempuan di Parlemen," yang digelar di Kantor LKBN Antara Biro DIY, Kamis, ia mengatakan caleg-caleg perempuan harus berhadapan dengan caleg yang masih menjabat. Sebab, mereka diduga melalukan politik uang untuk mempertahankan kursinya.

"Caleg tersebut takut kehilangan kekuasaan. Mereka menggunakan segala cara mempertahankan kekuasaan, salah satunya membeli suara," kata dia,

Ditanya kiat untuk meyakinkan pemilih supaya memilih dirinya saat Pemilu 9 April, Agnes menggunakan pendekatan budaya dan menggunakan isu politik serta potensi lokal yang dapat dikembangkan. Pendekatan budaya dilakukan dengan mendatangi kegiatan-kegiatan masyarakat seperti rasulan, pertemuan budaya dan kesenian masyarakat.

Selain itu, kata Agnes, dirinya menggunakan isu lokal seperti pertanian, pendidikan, dan kesehatan.

Menurut dia, dapil Gunung Kidul adalah dapil `neraka` karena politik uang sangat kuat.

"Pendekatan masyarakat berbasis budaya sangat efektif, untuk menekan praktik politik uang. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap dirinya juga lebih besar dibandingkan dengan penolakan," katanya.

Pengamat politik Nikolaus Loy mengatakan rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen, khususnya di daerah disebabkan oleh kurang berpihaknya media terhadap caleg perempuan.

Selain itu, kata Nikolas, akses caleg perempuan terhadap politik dan organisasi masyarakat sangat lemah menyebabkan caleg perempuan tidak terpilih.

"Sistem proporsional terbuka dalam nomor urut caleg juga menguntungkan caleg laki-laki yang mayoritas berada pada nomor urut awal. Saat ini, parpol yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu sangat sedikit," katanya.

(U.KR-STR)