Pengamat: masyarakat perlu ditranformasikan menjadi "active citizen"

id pengamat: masyarakat perlu

Pengamat: masyarakat perlu ditranformasikan menjadi "active citizen"

Arie Sujito (Foto kpukotasolo.wordpress.com)

Jogja (Antara Jogja) - Masyarakat perlu ditranformasikan menjadi "active citizen", atau warga negara yang aktif pasca-Pemilihan Umum Legislatif 2014, kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito.

"Dengan demikian, mereka kelak mampu mengontrol jalannya kekuasaan eksekutif dan legislatif tingkat daerah dan nasional," katanya pada diskusi `Dinamika Pemilu 2014 di DIY` di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu.

Menurut dia, masyarakat yang saat pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 golput, pemilih transaksional maupun pemilih kritis harus ditransformasikan menjadi warga negara yang aktif.

"Hal itu harus didorong agar mereka kelak menjadi warga negara yang kritis dan mampu mengontrol kekuasaan, mengawasi penyelenggaraan pemerintahan, dan pelayanan publik. Cara itu penting untuk mengurangi kemerosotan demokrasi dan memburuknya sistem politik di Indonesia," katanya.

Ia mengatakan Pemilu Legislatif di DIY secara umum masih diwarnai kekisruhan penyelenggaraan teknis, dan dari sisi pelaksanaan kampanye tidak ada lompatan berarti karena masih menggunakan cara lama.

Selain itu, banyaknya praktik pelanggaran pemilu nyaris tidak ada tindakan hukum dan implikasi politik yang memadai. Penyelenggara pemilu tidak mau belajar dari kegagalan yang terjadi dalam pemilu sebelumnya, padahal yang dibutuhkan bukan sekadar pemilu damai tetapi juga berkualitas.

Menurut dia, politik uang, manipulasi suara, pemihakan penyelenggara pemilu di level bawah, dan minimnya saksi di tempat pemungutan suara (TPS) menjadi permasalahan utama di DIY.

"Mobilisasi massa dengan materi, pemasangan atribut yang bermasalah, dan permisifnya warga adalah rentetan fenomena yang secara sosiologis terbukti mewarnai Pemilu Legislatif 2014," katanya.

Ia mengatakan praktik kotor itu mencederai pesta pergantian kekuasaan yang keempat pada era reformasi. Seleuruh fenomena itu tidak mampu ditransformasikan menjadi bukti hukum dalam "rule of the game" pemilu sehingga gagal untuk dijadikan basis pijak keputusan politik dalam pemilu.

"Hal itu sungguh ironis. Masyarakat Yogyakarta yang konon terdidik, istimewa, dan banyak yang melek informasi, tetapi faktanya pemilu ibarat `sirkus pencari kuasa dan rente`," katanya.

(B015)
Pewarta :
Editor: Regina Safrie
COPYRIGHT © ANTARA 2024