Pemilu tak sempurna bukan kesalahan KPU semata

id pemilu

Pemilu tak sempurna bukan kesalahan KPU semata

Ilustrasi pelaksanaan Pemilu (Foto ANTARA/Dok)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 9 April lalu dinilai kurang memuaskan berbagai pihak. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara dituding banyak melakukan kesalahan terutama ketidak-cermatannya, sehingga surat suara antardaerah pemilihan tertukar.

Namun, masih ada yang mengapresiasi kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kekurangsempurnaan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan ini bukan semata-mata kesalahan KPU.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto berpendapat, ketidak-sempurnaan pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 bukan semata-mata kesalahan KPU, melainkan juga tanggung jawab lembaga lain yang terkait.

"Saya kira ini (pemilu legislatif) pekerjaan besar bersama. Saya kira kekurangan dalam pelaksanaannya tidak fair jika hanya ditimpakan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja," kata Erwan di Yogyakarta, akhir pekan ini.

Ia mengatakan, persoalan yang muncul dalam pelaksanaan pemilu legislatif 2014 juga disumbang dari belum adanya dukungan signifikan dari sistem database kependudukan yang harus disediakan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil di masing-masing daerah.

"Misalnya soal daftar pemilih tetap (DPT), semestinya telah didukung dengan adanya e-KTP yang ternyata masih bermasalah," katanya.

Menurut dia, selama Indonesia masih belum memiliki sistem database kependudukan yang baik, maka DPT akan selalu banyak yang tidak akurat.

"Kalau di Korea, untuk mengurangi risiko itu, diupayakan dengan menggunakan e-voting, sehingga distribusi logistik menjadi tidak rumit di wilayah yang luas," katanya.

Terlepas dari ketidaksempurnaan pemilu legislatif, menurut dia, secara umum justru KPU telah berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi di Indonesia itu dengan baik, dibanding penyelenggaraan di negara-negara lain. "Media-media luar sangat mengapresiasi pelaksanaan pemilu di Indonesia yang relatif hanya memiliki sedikit gangguan. Saya kira kita juga harus mengapresiasi kinerja KPU," kata Erwan yang juga Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini.

Penilaian buruknya penyelenggaraan Pemilu Legislatif 9 April lalu juga muncul di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Gunung Kidul menilai penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 di kabupaten ini terburuk dibandingkan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

Ketua Panwaslu Gunung Kidul Buchori Ikhsan mengatakan pada tahapan pelaksanaan coblosan, terjadi kekurangan dan kelebihan surat suara, kemudian surat suara tertukar hingga pencoblosan harus diulang.

"Kami menyayangkan permasalahan-permasalahan tersebut. Ini kesalahan administrasi logistik yang tidak cermat. Kami menilai pelaksanaan Pemilu 2014 ini terburuk dibandingkan pemilu sebelum-sebelumnya," kata Buchori.

Menurut dia, Komisi Pemilihan Umum terkesan tidak siap menyelenggarakan pemilu, meski beberapa tempat pemungutan suara (TPS) yang mengalami kekurangan dan kelebihan surat suara, serta surat suara tertukar pada saat itu langsung diganti dan pencoblosan dilanjutkan kembali.

"Peristiwa kekurangan, kelebihan surat suara dan surat suara tertukar hingga pencoblosan ulang memperlihatkan ketidaksiapan KPU Gunung Kidul dalam menyelenggarakan pemilu," kata dia.

Sebagaimana yang terjadi di TPS Dusun Grogol Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, sebanyak 125 lembar surat suara tertukar dengan dapil lain.

Sedangkan di TPS 26 Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo, surat suara untuk DPRD provinsi kurang 125 lembar. Hal sama juga terjadi di TPS 3 Dusun Gondang Desa Ngawis, Karangmojo, surat suara untuk DPRD Gunung Kidul kurang 25.

Selain itu, TPS 8 Dusun Kemorosari, Desa Piyaman, Kecamatan Wonosari, sebanyak 125 surat suara dari dapil dua meliputi Ngawen, Nglipar, Gedangsari dan Patuk, tertukar dengan surat suara dapil I meliputi Wonosari, Playen dan Semanu.

Dari total 125 suara yang tertukar, sudah ada surat surat suara yang dicoblos. Oleh panitia kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) setempat, saksi, KPU dan panwascam, surat suara yang tertukar langsung diganti.

Terkait persoalan pemilu ulang TPS 06 Dusun Bulurejo, Desa Siraman, Wonosari, lanjut Buchori, berawal dari salah satu pemilih yang akan mencoblos caleg pilihannya, ternyata tidak ada dalam surat suara.

Setelah itu, pemilih tersebut melapor ke KPPS bahwa calonnya tidak ada. Setelah KPPS mengecek surat suara, ternyata tertukar. Padahal, sebanyak 255 warga telah mencoblos.

"Artinya, KPU tidak cermat, KPPS tidak cermat, dan warga sebagai pemilih juga kurang cermat. Namun, atas permasalahan ini sudah disepakati akan dilakukan pemilu ulang pada Minggu, 13 April," katanya.



KPPS terlibat pelanggaran

Pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 9 April lalu di Kabupaten Bantul, DIY, bahkan melibatkan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Perkembangan terakhir, KPU Bantul menyerahkan kewenangan kepada panitia pengawas pemilu terkait untuk melakukan penyelidikan anggota KPPS yang terlibat pelanggaran tersebut.

"KPU hanya menangani permasalahan administratifnya, terkait dugaan pelanggaran oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), dan penyelidikannya kami serahkan ke Panwaslu," kata Ketua KPU Bantul M Johan Komara.

Salah satu anggota KPPS yang bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 28 Desa Potorono diduga terlibat pelanggaran, menyusul ditemukannya 47 lembar surat suara DPRD kabupaten yang terdapat tanda beberapa huruf.

Karena adanya penandaan pada sampul surat suara dengan menggunakan alat tulis itu, kata dia proses pemungutan suara untuk DPRD Bantul pada 9 April dinyatakan tidak sah, dan diharuskan melakukan pemilu ulang yang digelar pada Rabu (16/4).

"Secara administrasi kami memutuskan pemilu ulang di TPS Potorono sesuai rekomendasi dari Panwaslu, termasuk tidak memakai semua anggota KPPS, jika memang penyelidikan panwas ada pelanggaran ya bisa masuk ke forum penegakan hukum terpadu (Gakkumdu)," katanya.

Dalam pemungutan suara ulang karena kasus itu, kata dia sesuai arahan dari KPU, bahwa panitia pemungutan suara (PPS) telah menggunakan anggota KPPS lain yang diambil dari panitia penyelenggara terdekat di desa setempat.

Sementara itu, Ketua Panwaslu Bantul Supardi mengatakan tidak menutup kemungkinan penandaan surat suara DPRD kabupaten itu dilakukan salah satu anggota KPPS Potorono sebelum diserahkan kepada pemilih sesaat sebelum pemungutan suara.

"Adanya tulisan beberapa huruf yang mungkin menunjukkan inisial pemilih ini hurufnya memang beda-beda, namun ini dilakukan satu orang yang sama, ini jelas merupakan sebuah pelanggaran, karena menjadikan surat suara rusak," katanya.

Meski begitu pihaknya belum dapat menyimpulkan siapa pelaku yang menandai surat suara pemilu, karena berdasarkan keterangan yang pihaknya peroleh dari semua anggota KPPS, semua tidak mengakui telah melakukan pelanggaran administrasi itu.

"Kalau untuk mengetahui unsur pidananya masih kami dalami, dan juga butuh kajian lebih lengkap, kami juga sudah diskusikan hal ini dua kali di forum Gakkumdu, namun belum dapat rumuskan kesimpulan seperti apa," katanya.



Pengawasan pemilu ulang

Terkait adanya pelanggaran dan kesalahan tersebut, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY meminta KPU provinsi ini memaksimalkan pengawasan pada pemilu ulang.

Anggota Bawaslu DIY Sri R Werdiningsih mengatakan meskipun pemilu ulang memiliki skala kecil dibanding pemilu 9 April lalu, namun memiliki kerawanan yang sama. "Pemilu ulang meskipun lebih sedikit, bukan jaminan tidak ada kekurangan atau kecurangan," kata Sri.

Menurut dia, saat pelaksanaan pemilu ulang di Gunung Kidul dan Bantul pada 13 April, Bawaslu DIY masih menemukan surat suara yang tertukar. Bahkan surat suara tercoblos dalam pencoblosan ulang tersebut. "Masih kita temukan surat suara tertukar, misalnya di TPS 2 Wareng, Wonosari, Gunungkidul. Bahkan ada surat suara yang sudah tercoblos," katanya.

Dengan demikian, beberapa TPS yang telah melaksanakan pemilu ulang masih akan melakukan pemilu ulang kembali, dengan waktu yang akan dijadwalkan oleh KPU DIY.

Menurut Sri, pemilu ulang justru memiliki kerawanan, dan dimanfaatkan berbagai pihak untuk menambah perolehan suara partai politik maupun calon anggota legislatif.

"Mulai dari KPU, PPK hingga KPPS agar bekerja profresional, agar pemilu ulang tidak memunculkan persoalan," katanya.

Berbeda dengan pendapat anggota KPU DIY Nur Huri Mustofa yang meyakini bahwa pelaksanaan pemilu ulang tidak memiliki risiko seperti saat pemilu 9 April lalu.

Menurut Nur, pemilu ulang skalanya lebih kecil, sehingga kemungkinan kecurangan lebih bisa dihindari. "Kami hanya berharap kepada kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di lapangan dapat tetap menjaga independesi, dan bekerja cermat," kata dia.

(M008)
Pewarta :
Editor: Regina Safrie
COPYRIGHT © ANTARA 2024