APKI: industri dalam negeri masih abaikan SVLK

id apki: industri dalam

APKI: industri dalam negeri masih abaikan SVLK

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) (Foto samantafoundation.org)

Jakarta (Antara Jogja) - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia mengungkapkan sejumlah industri  mengabaikan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai acuan pembelian produk meskipun SVLK dinilai mendapat apresiasi tinggi secara global.

Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan di Jakarta, Jumat mengatakan, konsumen lebih memilih menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi asing  kehutanan sebagai acuan pembelian produk .

"Ada BUMN besar, ada juga produsen kebutuhan rumah tangga raksasa yang tak mau menggunakan produk yang telah dilengkapi SVLK. Mereka hanya mau menggunakan produk yang memiliki sertifikat dari pihak asing," katanya.

Menurut dia, hal itu adalah sebuah sikap tidak menghormati SVLK, yang sebenarnya telah dikembangkan secara multipihak, transparan dan akuntabel.

"Pemerintah seharusnya memaksa industri konsumen di tanah air menjadikan SVLK sebagai satu-satunya acuan pembelian produk kehutanan. Kalau mereka tidak mau, itu melecehkan SVLK," kata Rusli.

Ia mengatakan sikap industri dalam negeri tersebut secara langsung berdampak dengan terus membanjirnya produk impor, misalnya produk kertas volume terus meningkat beberapa tahun belakangan.

Tahun 2010 volume impor kertas sebesar 22.166 ton, kemudian naik menjadi 33.456 ton pada 2011, lalu 51.368 ton pada 2012 dan 73.869 ton pada 2013.

Produk impor makin tak terbendung karena tak ada hambatan dagang untuk masuk ke Indonesia, tambahnya, terlebih lagi saat ini bea masuk produk kertas hanya 0 perse.

Produk impor juga bebas dari kewajiban memiliki sertifikat SVLK, di saat produk dalam negeri justru dibebani kewajiban tersebut.     

Rusli pun mendesak pemerintah untuk segera memberikan perlakuan setara dan memberlakukan kewajiban SVLK bagi produk impor.

Sementara itu Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin menyatakan selain tunduk dengan SVLK, produsen bubur kayu dan kertas nasional secara sukarela menerapkan standar pengelolaan hutan lestari yang tinggi. "Ini memastikan bahan baku kayu yang dimanfaatkan bukan hanya legal tapi juga berkelanjutan," katanya.

RAPP menerapkan kajian hutan bernilai konservasi (HCV) tinggi sejak tahun 2005 untuk memastikan areal dengan kategori tersebut dipertahankan dan sampai saat ini, telah ada 36 kajian HCV yang dilakukan.

Kusnan menyatakan, pihaknya memberlakukan moratorium pembangungan hutan tanaman industri (HTI) pada areal konsesi yang belum dilakukan kajian HCV.

Untuk konsesi yang berada di lahan gambut, pihaknya menerapkan teknologi pengelolaan tinggi muka air, ekohidro yang mampu menjaga gambut tetap lembab sehingga mencegah subsidensi dan menutup peluang munculnya api.

Hasilnya, RAPP berhasil mengelola HTI gambut secara berkelanjutan selama 20 tahun.

"Untuk itu kami menanam sedikitnya 150 juta pohon atau setara dengan 96.000 hektare per tahun," katanya.

RAPP merupakan bagian dari grup APRIL memiliki kapasitas pulp 2,8 juta ton per tahun dan kapasitas kertas 820.000 per tahun.

(S025) 
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024