Solar Dibatasi Tidak Semua Sektor Usaha Rugi

id solar dibatasi tidak

Solar Dibatasi Tidak Semua Sektor Usaha Rugi

Ilustrasi (Foto Antara/Mamiek)

Jogja (Antara Jogja) - Kebijakan pemerintah yang membatasi pemakaian solar bersubsidi dampaknya tidak semua sektor usaha rugi. Ada beberapa industri yang tidak terpengaruh biaya produksinya, bahkan ada sektor usaha yang justru diungtungkan.

Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperkirakan bahwa pembatasan kuota bahan bakar solar bersubsidi tidak banyak memengaruhi biaya produksi.

"Sebenarnya tidak terlalu berdampak signifikan, sebab hanya berpengaruh pada biaya distribusi atau pengiriman barang saja," kata Sekretaris Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) DIY Endro Wardoyo di Yogyakarta.

Menurut Endro, biaya produksi akan mengalami gejolak yang signifikan justru apabila terjadi kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Dampak pembatasan solar bersubsidi masih dapat dihadapi dengan upaya efisiensi bahan baku. "Paling tidak kami masih bisa menekan dampaknya, dengan melakukan berbagai upaya efisiensi misalnya untuk bahan baku," katanya.

Ia mengatakan Asmindo DIY sebelumnya telah siap menghadapi kebijakan pemerintah terkait opsi pembatasan kuota solar bersubsidi. Hal itu, menurut dia, karena pihaknya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kebijakan pemerintah tersebut.

"Tidak ada alasan untuk menolak kebijakan tersebut asal tidak membuat ketidak pastian pasar," katanya.

Asmindo, menurut dia, menyadari bahwa kebijakan yang ditempuh pemerintah tersebut merupakan pertimbangan matang terkait pengaturan subsidi.

"Memang sudah menjadi risiko pengusaha, tapi kami berharap subsidi bisa dialihkan untuk perbaikan berbagai infrastruktur yang dapat mempermudah gerak operasional kami misalnya untuk infrastruktur jalan," katanya.

Sementara itu, Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Euis Saeda mengatakan pemberlakuan kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi di sejumlah SPBU dinilai tidak berpengaruh besar terhadap industri kecil dan menengah.

"Tidak begitu terasa, karena bukan merupakan bahan baku utama dalam proses produksi IKM," katanya di Jakarta.

Euis memperkirakan pengaruh kebijakan tersebut terhadap kenaikan ongkos produksi yakni sebesar lima persen. Meski demikian, kenaikan ongkos produksi tersebut tidak akan menyebabkan kenaikan harga karena masih lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh dari produk-produk IKM.

Pihaknya mencontohkan industri alas kaki dengan keuntungan berkisar 25-30 persen tetap bisa bertahan meski dengan kenaikan lima persen ongkos produksi. "Keuntungan produsen alas kaki misalnya berkisar 25-30 persen, dengan terkurangi lima persen kenaikan ongkos produksi dan volume penjualan yang tetap, saya kira masih bisa bertahan," katanya.

Ia menambahkan IKM sektor makanan dan minuman yang paling terkena pengaruh pembatasan penjualan solar subsidi karena keuntungan dari sektor tersebut tidak besar.

Meski demikian, menurut dia, dengan strategi pemasaran yang baik, pelaku sektor industri makanan dan minuman tetap dapat bertahan.

"Mereka bisa berkompromi dengan mengurangi ukuran atau menaikkan sedikit harga jual. Pasar itu kalau sudah ketergantungan dengan suatu produk, harga naik sedikit tidak masalah, pasar bisa memahami," katanya.

Ia mengingatkan para pelaku IKM agar terus memperluas pasar mereka sehingga usaha mereka lebih stabil dan kuat.



              Belum Pengaruhi Harga Sembako

Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan kebijakan pemerintah yang membatasi kuota bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar bersubsidi belum berdampak yang menyebabkan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di daerah ini.

"Sesuai hasil pemantauan beberapa pasar induk di DIY memang sampai sekarang kebijakan tersebut belum memberi dampak yang signifikan terhadap harga sembako," kata Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindagkop DIY Eko Witoyo di Yogyakarta.

Meski demikian, menurut dia, pembatasan solar bersubsidi tetap akan memiliki dampak terhadap perubahan harga sembako di DIY. Hal itu akan terlihat setelah pemantauan kembali dilakukan pada pekan mendatang. "Tentu akan memberikan dampak karena sangat berkaitan erat dengan biaya distribusi. Seminggu ke depan kami akan coba cek lagi," kata dia.

Ia mengatakan justru sesuai pantauan di pasar pascalibur Lebaran ini, harga bahan kebutuhan pokok rata-rata menurun. "Sepekan setelah Lebaran harga bahan kebutuhan pokok di Pasar Beringharjo, Pasar Demangan, dan Pasar Kranggan yang terpantau sempat mengalami lonjakan yaitu daging sapi, daging ayam, serta telur. Namun saat ini harga komoditas tersebut seluruhnya telah kembali turun," kata Eko.

Informasi dari pantauan harga di sejumlah pasar tradisional yang diperoleh Disperindagkop DIY menyebutkan harga daging sapi yang semula mencapai Rp103.000 per kg, saat ini turun menjadi Rp101.000 per kg, daging ayam potong Rp28.660 per kg, sementara daging ayam kampung 70.000 per kg.

Sedangkan telur ayam Rp17.330 per kg, bawang merah masih stabil Rp17.000 per kg, bawang putih Rp13.000 per kg, cabai merah Rp9.300 per kg, serta cabai rawit merah Rp14.000 per kg.

Menurut Eko, penurunan harga kebutuhan pokok saat ini selain disebabkan kebutuhan masyarakat yang mulai menurun, juga didukung lancarnya distribusi serta stok yang masih melimpah di tingkat pedagang. "Lonjakan harga kebutuhan pokok pada lebaran tahun ini juga tidak setinggi tahun lalu karena tidak sampai menimbulkan kelangkaan kebutuhan pokok," katanya.

Masih di DIY, aktivitas nelayan di daerah ini tidak terhambat dengan adanya pembatasan kuota solar bersubsidi. Seperti yang diklaim Dinas Kelautan dan Perikanan DIY bahwa kebijakan pembatasan bahan bakar minyak khususnya solar bersubsidi tidak menghambat aktivitas nelayan.

Menurut Kepala Bidang Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Suwarman Partosuwiryo, sampai sekarang kapal milik nelayan di daerah ini masih tercukupi kebutuhan solarnya dengan kuota solar bersubsidi yang telah ditetapkan sebanyak 32.000 liter per bulan.

"Sebab, untuk DIY sendiri kapal-kapal penangkap ikan masih banyak yang di bawah 30 gross ton, sehingga dengan kuota solar sebanyak itu yang telah ditetapkan setiap bulan selama 2014 masih aman," katanya.

Ia mengatakan, terkait kebijakan pembatasan kuota solar bersubsidi tersebut, pihaknya masih akan mensosialisasikan kepada pemilik kapal di DIY dan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten setempat. "Setelah kami mendapatkan surat edaran dari PT Pertamina mengenai kebijakan pembatasan solar tersebut, kami langsung membuat surat untuk masing-masing kabupaten," katanya.

Menurut dia, kapal jaring apung kapasitas kecil membutuhkan sedikitnya 20 liter solar. Sehingga, dengan kuota yang ada saat ini masih dapat mengakomodasi kebutuhan rata-rata kapal di DIY.

Meski kuota solar bersubsidi masih mencukupi, pihaknya mengkhawatirkan kemungkinan kapal-kapal besar dengan kapasitas 30 gross ton dari wilayah lain masuk ke DIY, khususnya di Pelabuhan Sadeng, Gunung Kidul, sehingga akan mengurangi jatah solar bagi kapal-kapal DIY.

Ia menilai dengan kebijakan pembatasan solar bersubsidi secara nasional, akan berpengaruh besar terhadap kapal-kapal di pelabuhan-pelabuhan besar. "Justru kami harus mengantisipasi apabila kapal-kapal dari Cilacap, Tegal, Prigi Banyuwangi masuk ke DIY khususnya ke Pelabuhan Sadeng untuk memperoleh solar," kata dia.



              Untungkan Penjualan Bahan Bakar Nabati

Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Riau menyatakan pembatasan penjualan bahan bakar minyak bersubsidi jenis solar yang telah dilakukan di daerah ini akan meningkatkan harga penjualan bahan bakar nabati dari kelapa sawit.

"Kalau minyak sawit mentah (CPO), mungkin akan meningkatkan harga jual biodiesel, atau biaya produksi mereka meningkat, terutama di industri turunan sawit," ujar Peneliti Ekonomi Madya BI Perwakilan Provinsi Riau Muhammad Abdul Majid Ikram di Pekanbaru.

Para pelaku industri turunan kelapa sawit, menurut dia bisa melakukan konversi dengan menurunkan margin atau keuntungan dari produk yang mereka hasilkan seperti biodiesel, karena pada saat bersamaan harga jual CPO masih masuk untuk mendapatkan keuntungan besar.

Pertamina telah menjual solar bersubsidi sebesar 90 persen dengan campuran sebesar biodiesel 10 persen menjadi biosolar di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) se-Indonesia.

Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Meneral Nomor 25 Tahun 2013, dimana pemerintah mewajibkan pemanfaatan biodiesel tahun 2014 sebesar 10 persen dan pada tahun 2016 menjadi 20 persen.

"Jadi, kemungkinan tipis naik biaya, karena kalau kita lihat keuntungan para pengusaha turunan kelapa sawit masih cukup lebar. Sehingga para pelaku industri sawit bisa mengurangi dari sisi margin terkait dengan kebijakan itu," ujarnya.

Pemerintah Provinsi Riau sebelumnya menyatakan kebijakan pemerintah membatasi penjualan BBM bersubsidi jenis biosolar di SPBU yang bertujuan mengendalikan konsumsi solar, dinilai sangat menguntungkan perdagangan minyak sawit mentah.

"Terbatasnya pengadaan solar, menyebabkan dunia industri beralih ke biodisel sebagai BBM pengganti. Sementara ketersedian bahan baku biodisesl di Indonesia cukup banyak, sehingga menguntungkan perdagangan CPO," kata Kadis Perkebunan Riau Zulher.

Menurut dia, Indonesia memiliki potensi bahan baku untuk memproduksi biodiesel sebagai pengganti bahan bakar minyak bersubsidi jenis solar menjadi biosolar yang sangat besar setiap tahunnya. "Saat ini produksi CPO mencapai sekitar 30 juta ton per tahun dengan ekspor tercatat sekitar 20 juta ton per tahun. Secara kasar, satu juta ton CPO per tahun dapat diolah menjadi 20.000 barel biodiesel per hari," katanya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan kuota BBM bersubsidi jenis solar terancam habis pada akhir November mendatang apabila penggunaannya tidak dikendalikan.

"Kalau BBM tidak dikendalikan, maka pasokan solar bersubsidi hanya akan cukup sampai akhir November 2014," kata Jero Wacik saat menyampaikan keterangan terkait pengendalian BBM bersubsidi di kantor Kementerian ESDM di Jakarta.

Sementara itu, kuota BBM bersubsidi jenis premium hanya akan mencukupi hingga 19 Desember, apabila penggunaannya tidak dikendalikan. "Kami di sini mengupayakan supaya kuota BBM bersubsidi cukup hingga penghujung tahun ini, karena per 1 Januari 2015 sudah ada kuota baru," ujar Jero Wacik.

Oleh sebab itu, pihaknya menekankan bahwa pemerintah perlu melakukan pengendalian penggunaan BBM, karena UU Nomor 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 menyatakan volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter.

Kendati demikian, penyaluran BBM bersubsidi justru mengalami peningkatan pada semester pertama 2014, atau sebanyak 22,91 juta kilo liter dari jumlah kuota yang direncanakan sebanyak 22,81 juta kilo liter.

Jero Wacik menjelaskan bahwa kenaikan volume BBM bersubsidi ini dipicu oleh pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng menjelaskan bahwa anggaran yang digelontorkan untuk BBM bersubsidi mengalami perubahan, karena defisit neraca perdagangan. "Ini juga memicu melemahnya nilai tukar rupiah sehingga subsidi kita membengkak. Dan bila tidak dibatasi, maka akan melampaui batasan yang diberikan oleh keuangan negara yaitu tiga persen, dan ini melanggar undang-undang," kata Andy.

(M008)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024