Menaruh harapan pada Mahkamah Konstitusi

id menaruh mahkamah konstitusi

Menaruh harapan pada Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (Foto antaranews.com)

Jogja  (Antara Jogja) - Panggung uji dokumen sebagai bukti dan keterangan para saksi serta dalil-dalil pembuktian masih digelar Mahkamah Konstitusi dalam sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Banyak pihak menaruh harapan pada Mahkamah Konstitusi (MK), yakni putusan yang memiliki nilai kepastian hukum dan keadilan yang substansial.

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia Leli Haryani menilai hasil akhir dari gugatan sengketa pemilu presiden ke MK yang diharapkan adalah kepastian hukum dan keadilan.

"Proses gugatan sengketa pemilu presiden di MK adalah proses hukum, bukan proses politik, sehingga putusan yang dihasilkan adalah putusan hukum," kata Leli Haryani pada diskusi `Mempertanyakan Independensi MK Dalam Penyelesaian Sengketa Pilpres`, di Gedung MPR/DPR/DPD RI di Jakarta.

Menurut Leli, karena proses di MK adalah proses hukum, sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah adanya kepastian hukum dan keadilan.

Kedua hal tersebut, kata dia, harus terpenuhi, tidak bisa hanya salah satunya saja. "Kalau ada kepastian hukum tanpa keadilan, tidak bisa diterima, dan sebaliknya ada keadilan tanpa kepastian hukum, juga tidak bisa diterima," katanya.

Leli mengingatkan, para hakim konstitusi agar bekerja sebaik mungkin untuk kepentingan bangsa dan negara, dan bukannya untuk kepentingan salah satu pihak yang bersengketa. "Para hakim konstitusi harus belajar banyak dari persoalan mantan Ketua MK Akil Mochtar," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari mengatakan, komposisi hakim MK sembilan orang yang diusulkan dari tiga unsur negara yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, masing-masing tiga orang.

Tujuannya, kata dia, agar hakim MK saling mengontrol, sehingga dapat bekerja baik.

Dengan komposisi tersebut, dan proses seleksi yang dilakukan sebelumnya, Hajriyanto meyakini, secara struktural independensi MK akan selalu terjaga. "Sesuai amanah konstitusi, putusan MK adalah final dan mengikat," katanya.

Karena itu, kata Hajriyanto, apa pun putusan MK, maka semua pihak yang terkait dengan gugatan sengketa pilpres harus dapat menerima secara legowo.

Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa berharap MK membuat putusan yang substansial terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan oleh pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

"Putusan yang diharapkan pasangan Prabowo-Hatta bukan soal hasil suaranya dapat melampaui pasangan Jokowi-JK, tapi apakah Pemilu Presiden 2014 berlangsung secara jujur dan adil atau ada cacat hukum," kata Agun Gunanjar pada diskusi `Dialog Kenegaraan: Menerka Putusan MK, Sengketa Pemilu 9 Juli 2014`, di Gedung MPR/DPR/DPD RI di Jakarta.

Menurut dia, gugatan PHPU yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta hendaknya menjadi kesempatan bagi para hakim MK untuk mengembalikan marwah dan jati diri lembaga pengawal konstitusi itu setelah adanya persoalan Akil Mochtar.

"MK adalah salah satu lembaga negara yang memiliki integritas teruji dan terpercaya. Karena itu, kami menaruh harapan kepada para hakim MK untuk menangani kasus sengketa pilpres ini secara adil," kata Agun.

Politikus Partai Golkar ini menegaskan, jika MK membuat putusan dengan menegakkan kepastian hukum dan keadilan, maka akan memberikan optimisme baru bagi proses penegakan hukum di Indonesia ke depan.

Menurut dia, rakyat Indonesia menunggu putusan MK yang didasarkan pada penegakan hukum yang jujur dan adil.

"Bangsa sudah dalam kondisi yang hampir kehilangan kepercayaan pada lembaga-lembaga negara. Karena itu, MK harus mampu mengembalikan marwah penegakan hukum dan kepercayaan publik," katanya.



Suara Pemenang Pilpres

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jawahir Thontowi berharap hakim Mahkamah Konstitusi tidak mengorbankan suara-suara tulus, bersih, jujur, dan objektif yang berada pada pihak pemenang Pemilu Presiden 2014.

"Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung UUD 1945 memang harus lebih mengutamakan pendekatan yuridis formal sebagai dasar pertimbangan putusan gugatan Prabowo Subianto, tetapi tidak etis jika mengorbankan suara pemenang Pilpres 2014," katanya di Yogyakarta.

Menanggapi sidang MK mengenai gugatan Prabowo Subianto terhadap hasil perolehan suara Pilpres 2014, ia mengatakan syarat-syarat konstitusional, di mana jumlah perolehan suara 50 persen lebih itu sudah memenuhi tuntutan konstitusional.

Dalam konteks tersebut, kata dia, MK harus memerankan dirinya sebagai hakim dan mediator yang mengembalikan kedua pihak untuk bersedia mengimplementasikan "siap menerima kekalahan", dan "siap diberi amanah menerima kemenangan".

Menurut dia, pelajaran besar di balik peran MK adalah pendidikan demokrasi akan semakin berkualitas jika putusan MK membuka jalan adanya penegakan hukum atas kejahatan rezim pemilu legislatif dan pilpres.

"Kerelaan kita untuk menerima kemenangan bagi Bangsa Indonesia, dan penyesalan bagi pihak yang kalah, sebagian data-data tidak bisa sebagai bukti pelanggaran yang dapat membatalkan hasil yang diperoleh, mengingat peraturan perundangan yang telah disepakati telah menjadi sumber utama kelemahan itu," katanya.

Alternatifnya, jika bangsa ini terbukti tidak siap dengan demokrasi langsung akibat kecurangan banyak terjadi secara individual, maka demokrasi perwakilan berdasarkan Pancasila memungkinkan kecurangan individual dan kolektif dapat diminimalkan.

"Terkecuali, jika tingkat kesadaran masyarakat dalam pendidikan politik sudah dewasa dan matang, demokrasi langsung tergolong konsep ideal yang paling mungkin dilaksanakan di Indonesia ke depan," kata Guru Besar Fakultas Hukum UII ini.

Ia mengatakan MK harus memperlakukan proses pengadilan konstitusional terhadap gugatan Prabowo itu dengan ekstra hati-hati dan cermat. "Hati-hati dan cermat bagi MK meniscayakan hakim-hakim melakukan pemeriksaan dan pengujian terhadap bukti dan fakta secara terbuka, `fairness`, jujur untuk mengatakan bahwa kedua pihak ada pada sisi benar, tetapi juga tidak terbebas dari kesalahan," kata Jawahir.



Bebas Intervensi

Sedangkan pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Johanes Tuba Helan mengatakan, MK harus benar-benar bebas dari intervensi dalam menangani perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2014.

"Putusan yang baik dan benar adalah berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, dan bukan atas tekanan maupun pengaruh faktor lain," kata Johanes Tuba Helan di Kupang.

Menurut dia, dalam kenyataanya memang sering ada pengaruh faktor lain seperti uang dalam pengambilan keputusan di MK.

"Kasus Akil Mochtar, mantan Ketua MK yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah terbukti menerima suap dalam penanganan sejumlah perkara sengketa pilkada adalah bukti bahwa ada faktor lain yang dapat memengaruhi putusan MK," ujarnya.

Sementara itu, kata dia, dalam kasus Pilkada Sumba Barat Daya (SBD) pada 2013, MK telah mengabaikan fakta-fakta hukum dalam mengambil keputusan, dan ini berdampak pada penolakan pelantikan pasangan terpilih hingga sekarang.

"Artinya, perilaku yang dilakukan Akil Mochtar tidak boleh terulang dalam menangani sengketa pilpres, karena sangat membahayakan kesatuan bangsa," kata mantan Ketua Ombudsman Perwakilan NTT-NTB ini.

Menurut dia, MK harus mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan pemohon agar putusan itu dapat diterima seluruh masyarakat Indonesia.
(.M008)
Pewarta :
Editor: Heru Jarot Cahyono
COPYRIGHT © ANTARA 2024