PBNU: hormati perbedaan pelaksanaan Idul Adha

id pbnu idhul adha

PBNU: hormati perbedaan pelaksanaan Idul Adha

Nahdlatul Ulama (Foto filezmoch.blogspot.com)

Jakarta (Antara Jogja) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta masyarakat Indonesia menghormati perbedaan pelaksanaan Hari Raya Idul Adha 1435 H, antara Muhammadiyah dan NU yang mengikuti hasil sidang itsbat pemerintah.

"Masing-masing memiliki argumentasi dan cara untuk menetapkannya. Hormati perbedaan ini," ujar Marsudi Syuhud di Jakarta, Kamis.

Pemerintah menetapkan Idul Adha 10 Dzulhijah H bertepatan pada Minggu, 5 Oktober 2014 M. Sedangkan, Muhammadiyah melalui Hisab Hakiki sudah memutuskan Sabtu, 4 Oktober 2014 M.

Ia mengatakan pada dasarnya dalam landasan "Fiqih" disebutkan bahwa ketika hakim sudah menjatuhkan putusan maka perbedaan akan hilang.

Hakim yang dimaksud di sini, kata dia, adalah pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Agama sehingga seharusnya sudah tidak ada lagi perbedaan karena ditentukan melalui cara yang telah ditetapkan bersama.

"Tapi kalau sudah terjadi perbedaan seperti sekarang ini maka harus saling menghormati. Masyarakat juga pasti sudah dewasa menyikapinya," kata Marsudi.

Ulama bergelar doktor ekonomi tersebut juga menjelaskan, pascasidang itsbat penetapan awal dan tanggal 10 Dzulhijah 1435 H, PBNU akan mengirim surat edaran ke semua pengurus wilayah hingga cabang se-Indonesia.

"NU mengikuti penetapan yang diputuskan melalui sidang itsbat. Kami segera mengirim surat edaran tentang Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijah 1435H bersamaan dengan 5 Oktober 2014 M," katanya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menilai masyarakat Indonesia sudah dewasa menanggapi adanya perbedaan ini.

"Perbedaan tidak hanya terjadi kali ini saja sehingga masyarakat sudah sangat mengerti. Tidak ada yang perlu dipersoalkan," katanya.

Dalam sidang itsbat yang digelar Rabu (24/9), tim mendapat laporan dari 70 titik yang menyatakan semua tidak melihat hilal.

Sementara itu, Muhammadiyah menentukannya berdasarkan perhitungan hisab atau dikenal dengan "hisab hakiki" yang dilakukan Majelis Tarjih.

Metode yang digunakan ormas Islam terbesar ke-2 di Indonesia tersebut adalah hisab hakiki, sebuah metode yang berpatokan pada gerak benda langit, khususnya matahari dan bulan sebenarnya.

Dalam siaran pers yang ditandatangani Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar, ada tiga kriteria wujudul-hilal sudah terpenuhi.

Ketiganya yakni, harus sudah terjadi ijtima (konjungsi) antara bulan dan matahari, ijtima terjadi sebelum terbenam matahari, dan ketika matahari terbenam bulan belum terbenam, atau bulan masih berada di atas ufuk. (SDP-70)
Pewarta :
Editor: Heru Jarot Cahyono
COPYRIGHT © ANTARA 2024