Ada usulan sanksi bagi PSS-PSIS diperberat

id ada usulan sanksi

Ada usulan sanksi bagi PSS-PSIS diperberat

PSSI

Jogja (Antara Jogja) - Kasus "sepak bola gajah" PSS Sleman melawan PSIS Semarang tampaknya membuat malu dunia olahraga khususnya sepak bola di negeri ini. Untuk memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang terlibat, dan agar kasus serupa tidak terjadi lagi, muncul usulan sanksi atau hukumannya diperberat.

PSS Sleman saat menjamu PSIS Semarang di Lapangan AAU Yogyakarta, Minggu (26/10), menang dengan angka 3-2. Namun, gol-gol yang tercipta tersebut merupakan hasil bunuh diri para pemain masing-masing tim.

Informasi yang berkembang menyebutkan pertandingan sepak bola yang kurang wajar ini terjadi karena PSS maupun PSIS sama-sama ingin kalah untuk menghindari bertemu Pusamania Borneo FC pada pertandingan babak semifinal Divisi Utama.

Pusamania Borneo FC merupakan klub yang lolos ke semifinal dengan posisi sebagai "runner up" Grup 2. Kepastian lolosnya tim yang dilatih Iwan Setiawan itu, setelah menang WO dari Persis Solo. Sedangkan puncak klasemen dihuni Martapura FC, Kalimantan Selatan.

Ketua Umum Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) Pusat Tono Suratman meminta PSSI memperberat hukuman terhadap PSS Sleman dan PSIS Semarang, terkait lima gol bunuh diri pada pertandingan delapan besar Divisi Utama Liga Indonesia.

"Saya sudah menyampaikan kepada Ketua Umum PSSI Djohar Arifin untuk menambah hukuman yang lebih dari yang sudah diberikan, dan dia menyetujuinya," katanya di Jakarta.

Tono mengatakan hukuman tambahan bisa diberikan kepada klub, pelatih, ofisial, pemain, termasuk pemain cadangan, dengan tidak boleh bermain seumur hidup.

"Hukuman tambahan ini diharapkan dapat memberikan efek jera, dan pelajaran bagi kita semua," katanya.

Dia mengatakan gol-gol bunuh diri pada laga PSS Sleman melawan PSIS Semarang, Minggu, 26 Oktober lalu, sangat berpengaruh buruk terhadap cabang olahraga di Indonesia, seperti futsal, voli, dan basket. "Apa yang terjadi pada sepak bola tidak boleh terjadi di cabang olah raga lain. Kalau sampai terjadi, kita bisa dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain," katanya.

Hukuman berupa diskualifikasi yang dijatuhkan PSSI terhadap dua klub tersebut dinilai Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi sebagai sesuatu yang pantas untuk menunjukkan ketegasan.

Ketika mengunjungi pengurus cabang-cabang olah raga di Gelora Bung Karno, menpora mengatakan mengapresiasi kinerja PSSI yang cepat memberikan sanksi kepada dua klub yang telah melanggar, dan merusak semangat serta citra sepak bola. "Saya memberikan penghargaan kepada PSSI yang telah menghukum dengan tegas," katanya.

Imam Nahrawi menyatakan sepakat dengan langkah cepat yang dilakukan PSSI, dalam hal ini Komisi Disiplin (Komdis) terkait kasus lima gol bunuh diri pada pertandingan antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang itu.

Pengganti Roy Suryo itu menegaskan, pihaknya mengimbau semua pihak yang terkait dengan pertandingan sepak bola untuk segera menghentikan intrik yang akan mencederai olahraga Indonesia. "Hentikan main mata, dan permainan skor. Siapa pun yang salah harus ditindak tegas," kata pria yang juga politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.



                  Disorot Internasional

Kasus lima gol bunuh diri oleh pemain PSS Sleman dan PSIS Semarang tersebut, selain menjadi perhatian di Tanah Air, juga disorot internasional. Bahkan media olahraga asing mengulas dugaan adanya mafia dibalik kasus itu.

Sidang Komisi Disiplin PSSI di Kantor PSSI Senayan, Jakarta, 28 Oktober lalu memutuskan dua klub yaitu PSS Sleman dan PSIS Semarang didiskualifikasi dari keikutsertaannya pada babak delapan besar kompetisi Divisi Utama. "PSS Sleman dan PSIS Semarang berhenti sampai di sini. Selanjutnya akan dilakukan investigasi satu persatu, mulai pemain, pelatih maupun official," kata Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan usai sidang.

Untuk melakukan investigasi, kata dia, pihaknya membutuhkan waktu sekitar dua pekan. Maka, pihaknya meminta kepada PT Liga Indonesia selaku operator kompetisi menghentikan semua pertandingan sisa. "Pertandingan semifinal dan final kami harapkan baru bisa dilaksanakan setelah investigasi selesai. Biar tidak ada lagi alasan yang aneh dalam menyikapi babak delapan besar ini," katanya.

Hinca mengatakan keputusan itu diambil setelah pihaknya memanggil pemain, pelatih, dan official dari kedua klub. Bahkan semua yang dipanggil diajak menonton rekaman pertandingan antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang yang diwarnai lima gol bunuh diri tersebut.

Setelah melihat rekaman pertandingan, kata dia, semua pemain maupun official kepalanya langsung tertunduk. Kondisi itu menunjukkan ada permasalahan besar pada pertandingan yang memperebutkan posisi juara dan "runner up" grup itu.

"Sepak bola pada prinsipnya adalah untuk mencari kemenangan, tapi pada pertandingan PSS melawan PSIS justru sebaliknya. Mereka ingin kalah. Ini sudah mencederai `fair play`," kata Hinca.

Pria yang juga berprofesi sebagai penasihat hukum itu menegaskan dengan kejadian yang dinilai merusak citra persepakbolaan nasional tersebut, maka putusan yang ada tidak bisa dibanding. Bahkan kemungkinan sanksi akan ditambah berdasarkan hasil investigasi.

Dengan adanya keputusan ini, pihaknya akan langsung menginformasikan ke PT Liga Indonesia untuk segera merealisasikan keputusan Komisi Disiplin PSSI.

Komisi Displin PSSI dalam putusannya juga merekomendasikan kepada Komite Wasit PSSI untuk memberhentikan wasit hingga pengawas pertandingan dari aktivitas hingga investigasi yang dilakukan tuntas.



                 Harus Menjalani Sanksi

Pengurus Cabang PSSI Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan sanksi apa pun harus diterima dan dijalani PSS Sleman atas pertandingan "sepak bola gajah" dengan mengatur skor saat menjamu PSIS Semarang pada 26 Oktober lalu. "Kasus seperti itu baru pertama kali ini terjadi di PSS Sleman, dan sudah mencoreng tim," kata Ketua Pencab PSSI Kabupaten Sleman Hendricus Mulyono.

Menurut dia, apa pun sanksinya, meski berat, harus dijalani, diterima dan menjadi pelajaran agar PSS Sleman serta tim sepak bola lainnya di Indonesia bisa lebih baik lagi. "Kami sangat menyayangkan dan menyesalkan pertandingan itu yang jauh dari nilai sportivitas," katanya.

Hendricus yang merupakan tokoh dan sesepuh sepak bola DIY serta mantan manajer PSS Sleman pada era 2000-an itu mengatakan selama dirinya memegang PSS Sleman beberapa tahun lalu, timnya tidak pernah melakukan sepak bola curang seperti itu. "Bahkan ketika ada pemain yang melakukan `handsball` secara sengaja pada pertandingan resmi, langsung dipecat oleh pengurus. Dulu sekitar 2003 kami sangat tegas," katanya.

Ia mengatakan, dari pertandingan tersebut ada indikasi perang mafia. Kecurigaan itu sudah terlihat antara kedua tim, yaitu PSS Sleman dan PSIS Semarang yang tidak ingin memenangi laga, karena jika menjadi juara grup, akan menghadapi Pusamania Borneo FC sebagai "runner up" di grup lain, pada putaran semifinal nanti.

"Indikasi itu sudah ada. Jangan kekerasan dibalas dengan kekerasan, mafia dibalas dengan mafia," katanya.

Ia berharap, Komisi Disiplin PSSI mengusut kasus ini sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai, hal ini terulang kembali dalam persepakbolaan Indonesia yang mulai banyak digemari masyarakat.

"Kasus ini harus diusut tuntas, kenapa bisa terjadi. Termasuk yang melatarbelakanginya," katanya.

Menurut Hendricus, seharusnya PSS Sleman tidak harus melakukan "sepak bola gajah" seperti itu. "Semua lawan dalam kompetisi dianggap sama, dan menjunjung tinggi sportivitas. Bola itu bundar, kemenangan ditentukan dalam pertandingan. Bukan sebelum tanding sudah tahu hasilnya," katanya.

Sementara itu, Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) GBPH Prabukusumo mengatakan tentunya PSSI memberikan sanksi tegas kepada kedua tim yang melakukan "sepak bola gajah" tersebut, dimaksudkan agar kasus yang memalukan dunia persepakbolaan itu tidak terulang lagi.

"Sanksi yang dijatuhkan kepada PSS dan PSIS itu tentu mengacu pada peraturan yang berlaku sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan kedua tim saat berlaga pada kompetisi sepak bola divisi utama tersebut," katanya.

Menurut dia, pemberian sanksi kepada kedua tim itu merupakan langkah yang tepat. "Jika tidak ada sanksi tegas kepada kedua tim tersebut, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk di dunia persepakbolaan nasional ke depan, dan kasus serupa dapat terulang lagi," katanya.

Sanksi tegas ini, menurut Prabukusumo juga untuk menjaga kewibawaan PSSI sebagai lembaga yang menaungi sepak bola nasional. "Jika PSSI tidak bersikap tegas, kewibawaannya otomatis turun," katanya.

Sedangkan PSIS Semarang menyatakan menerima dan menghormati keputusan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI yang memberikan sanksi diskualifikasi dari keikutsertaannya pada babak delapan besar Kompetisi Sepak Bola Divisi Utama Liga Indonesia 2014.

"Hukuman itu memang terlalu berat, tetapi kami menerima dan menghormati keputusan tersebut, karena kita merupakan bagian dari PSSI," kata CEO PSIS Semarang, Jateng, Yoyok Sukawi.

Ia mengatakan dirinya mengaku bersalah dalam kejadian tersebut. "Yang salah saya, bukan pemain atau pelatih maupun manajemen tim. Saya yang bertanggung jawab," katanya.

Yoyok Sukawi mengatakan apabila melihat ke belakang, tidak ada rencana untuk melakukan hal itu (gol bunuh diri). "Keputusan sudah dijatuhkan, dan tidak bisa banding, jadi kita mau menyelamatkan bagaimana lagi?," katanya.

(M008)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024