Budi Gunawan haknya Presiden dan KPK

id budi gunawan, presiden, kpk

Budi Gunawan haknya Presiden dan KPK

Komjen Budi Gunawan (Antara Foto)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Presiden punya hak prerogatif memilih Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki hak menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi.

Presiden Joko Widodo mengusulkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri baru yang akan menggantikan Kapolri Jenderal Pol Sutarman. Surat pengusulan tertanggal 9 Januari 2015 itu telah dikirim ke DPR RI untuk meminta persetujuan pengangkatan yang bersangkutan menjadi Kapolri.

Salah satu senior Akpol angkatan 1983 tersebut dinilai mampu dan memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kapolri.

Menurut Presiden, pengajuan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai calon Kapolri sudah sesuai dengan prosedur yang ada. "Sudah dari Kompolnas, hak prerogatif saya, saya pakai pilihan saya, (kemudian-red) saya sampaikan ke dewan," kata Presiden Joko Widodo.

Presiden mengatakan pilihan pemerintah yang diajukan kepada DPR RI itu, sudah melalui proses yang benar.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan dari usulan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), ada sembilan nama yang memenuhi syarat.

"Sembilan nama tersebut sudah diserahkan Menko Polhukam sebagai ketua Kompolnas pada Jumat (9/1) pagi, sebelum rapat terbatas tentang KAA," ujar Andi.

Presiden, kata Seskab, kemudian memanggil Mensesneg Pratikno untuk menyiapkan surat pengajuan usulan nama calon Kapolri kepada DPR RI.

"Jadi, kami, baik Mensesneg, saya sebagai Seskab, kalau hal-hal seperti ini tidak menanyakan alasan Presiden, karena ini merupakan hak prerogatif Presiden," tukasnya.

Andi mengatakan pengajuan calon tunggal dan tidak melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta KPK, karena memang tidak secara khusus diatur dalam undang-undang.

Ia mengatakan mengenai adanya informasi tentang rekening gendut perwira kepolisian, itu sudah ada sejak 2008 dan 2010. Namun, selama ini kasus tersebut seperti tidak pernah didalami.

"Pertanyaannya, kalau seandainya ada A,B,C di Kepolisian atau lembaga institusi lain yang terindikasi memiliki masalah tentang aliran finansialnya, kenapa dari 2008, 2010, dari lima tahun lalu tidak ada tindakan?" ucap Andi, mempertanyakan.

Budi Gunawan pernah diduga memiliki rekening gendut, sehingga ada beberapa pihak yang meragukan kualitas rekam jejak pejabat Polri tersebut.

Menurut Andi, Presiden tentu melakukan klarifikasi ke institusi Polri tentang hal itu. "Saya yakin klarifikasinya positif, sehingga Presiden mengusulkan Pak Budi Gunawan," tuturnya.

Sementara itu, KPK tidak dilibatkan oleh Presiden Joko Widodo dalam penjaringan bakal calon Kapolri. "Permintaan untuk dilakukannya profiling `track record` kandidat belum ada secara resmi," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Jakarta, Sabtu (10/1).

Menurut dia, apabila pemerintah belum meminta KPK untuk menyelidiki data rekam jejak calon kandidat Kapolri, maka KPK tidak akan melakukan intervensi apa pun.

Ia mengatakan KPK memahami tuntutan publik terhadap figur pejabat yang bersih, yang dimulai dengan seleksi ketat. Kendati demikian, pihaknya tidak bisa berinisiatif untuk menyelidiki rekam jejak seseorang tanpa adanya permintaan dari pemerintah.

"Pemilihan itu hak Presiden. Presiden yang bertanggung jawab. Jangan dibebankan ke KPK dong!" tegas Bambang.

Meski tidak akan berintervensi selama tidak diminta pemerintah, pihaknya menyayangkan apabila pemilihan calon Kapolri tanpa melewati penyaringan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Tradisi (seleksi KPK dan PPATK) yang baik, seharusnya dilakukan terus menerus. Karena ini demi kemaslahatan bersama," ujarnya.



ICW Kecewa

Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan alasan Presiden Joko Widodo tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam proses penjaringan calon Kapolri.

"Ada yang aneh dalam proses pemilihan calon Kapolri ini. Presiden tidak melibatkan KPK, dan PPATK," kata Koordinator Divisi Pengawasan Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho di Jakarta.

Hal ini, menurut dia, berbeda dengan saat pemilihan Kapolri yang sekarang masih menjabat yaitu Jenderal Sutarman. Menurut dia, saat itu KPK pernah dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan.

Ia mengatakan pemilihan Kapolri seharusnya juga melewati proses yang sama, seperti ketika Presiden memilih pejabat setingkat menteri, yakni melalui pengecekan rekam jejak melalui KPK dan PPATK.

"Untuk menteri saja ada proses seleksi melalui KPK dan PPATK. Tapi untuk pejabat setingkat Kapolri dan Jaksa Agung, KPK dan PPATK tidak dilibatkan. Ini diskriminatif," ujarnya.

Kendati Emerson mengakui tidak ada peraturan yang mengatur bahwa pemilihan pejabat setingkat Kapolri harus melewati seleksi rekam jejak KPK dan PPATK, tetapi menurut dia, jabatan Kapolri sebagai ujung tombak penegakan hukum, dinilainya sangat penting. Oleh karena itu, bakal calon Kapolri harus memiliki rekam jejak yang `bersih`.

Pihaknya juga menilai Presiden Joko Widodo terburu-buru mengusulkan nama calon Kapolri ke DPR RI pada Jumat (9/1). Hal itu lantaran Kapolri Jenderal Sutarman baru akan pensiun pada Oktober 2015.

Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meminta semua pihak menghormati figur pilihan Presiden Joko Widodo untuk jabatan Kapolri, karena merupakan hak prerogatif Presiden.

"Saya rasa kita semua harus menghormati pilihan Presiden Jokowi, karena merupakan hak beliau," kata Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto, setelah acara perayaan HUT PDIP ke-42 di Jakarta, Sabtu (10/1).

Menurut dia, Presiden telah melakukan pertimbangan matang dengan melihat rekam jejak, sisi kepemimpinan, dan kesamaan visi serta misi sebelum menentukan.

Selain dari figur, kata dia, Presiden juga menentukan calon Kapolri dari perkiraan tantangan keamanan yang akan dihadapi Indonesia ke depan.

"Tentu Presiden mempertimbangkan aspek kepemimpinan, dan juga pertimbangan-pertimbangan tantangan ke depan sebelum mengajukan," ucapnya.

Presiden mengusulkan calon Kapolri sebelum waktu berakhirnya masa jabatan Kapolri yang sekarang, menurut dia merupakan hal yang biasa jika pemerintahan baru melakukan konsolidasi kekuasaan.

Sedangkan terkait penolakan yang muncul, menurut dia, hal tersebut wajar terjadi, karena semua pihak menginginkan sosok terbaik, dan memiliki pandangan pribadi untuk sosok tersebut.

"Penolakan pada jabatan politik wajar, tetapi saya kira setelah melihat kinerjanya, pandangan dapat berubah," dalih Hasto Kristiyanto.



Tersangka Suap

KPK menetapkan calon Kapolri Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap dari transaksi mencurigakan.

"Menetapkan tersangka Komjen BG (Budi Gunawan) dalam kasus tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan janji saat yang bersangkutan menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir di Mabes Polri 2003-2006, dan jabatan lain di Mabes Polri," kata Ketua KPK Abraham Samad di gedung KPK Jakarta, Selasa (13/1).

Dugaan penerimaan hadiah itu dilakukan sejak Budi menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri pada 2003-2006, dan jabatan lainnya di Mabes Polri.

KPK menyangkakan Komjen (Pol) Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Apabila terbukti melanggar pasal tersebut, dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan, ditambah denda minimal Rp200 juta, dan maksimal Rp1 miliar.

"Perlu saya jelaskan, KPK telah melakukan penyelidikan sejak Juli 2014, sudah setengah tahun lebih kami melakukan penyelidikan terhadap kasus transaksi tidak wajar terhadap pejabat negara itu, dan pada akhirnya KPK menemukan peristiwa pidana, dan telah menemukan lebih dari dua alat bukti untuk meningkatkan kasus ini dari tahap penyelidkan ke penyidikan pada 12 Januari 2015," papar Abraham.

Kesimpulan itu diambil dalam forum eksose (gelar perkara) yang dilakukan tim penyidik, penyelidik, jaksa, dan seluruh pimpinan.

"Sekarang waktunya kami memberikan penjelasan resmi, kami mencoba menahan diri bahwa Komjen BG saat pencalonan menteri dan dilakukan penelusuran rekam jejak, maka yang bersangkutan sudah diusulkan sebagai menteri, tapi karena KPK sedang menangani kasusnya, kami berikan catatan merah, jadi tidak elok kalau diteruskan (sebagai menteri)," tandasnya.

Namun, Abraham Samad menolak berapa jumlah rekening mencurigakan milik Budi Gunawan tersebut.

Ia juga mengatakan KPK akan melaporkan penetapan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait transaksi mencurigakan kepada Presiden Joko Widodo.

"Kami akan sampaikan secara resmi kepada Presiden dan Kapolri mengenai hasil penyidikan ini," tutur Abraham.

Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane menilai penetapan tersangka Komjem (Pol) Budi Gunawan oleh KPK merupakan kriminalisasi dan pembunuhan karakter, sehingga KPK justru sudah melangggar hukum.

"Ini sebuah rekayasa kasus, kriminalisasi dan pembunuhan karakter yang harus dilawan semua pihak, termasuk Presiden, Polri dan masyarakat," kata Neta S Pane saat diminta komentarnya di Jakarta, Selasa (13/1).

(M008)
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024