Jogja (Antara Jogja) - Usaha kecil dan menengah saat terjadi resesi atau krisis ekonomi seperti sekarang ini akan menjadi penyelamat perekonomian nasional, kata ekonom dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ahmad Ma`ruf.
Usaha kecil dan menengah (UKM), menurut Ahmad Ma`ruf, akan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi yang strategis dalam menjaga ketersediaan produk barang dan penyerapan tenaga kerja.
Ahmad menyebutkan pintu penguatan kapasitas UKM dalam kondisi resesi adalah kebijakan fiskal berupa penghilangan semua bentuk pajak dan biaya ekonomi tinggi, yang dalam kondisi normal masih bisa ditanggung UKM.
"Dalam kondisi resesi, semua bentuk pajak dan biaya ekonomi tinggi harus dilepaskan agar kapasitas keuangan UKM tidak terkoreksi. Kebijakan suku bunga bersifat diskresi perlu dipersiapkan, khususnya pada kredit modal kerja UKM," katanya di Yogyakarta, Kamis (27/8).
Selain itu, menurut Ahmad, peran konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional, juga harus dipertahankan. Pada tahun 2014, misalnya, konsumsi rakyat menyumbang 56,07 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Dalam kondisi resesi, nilai konsumsi dijaga dari pelemahan. Hal yang perlu diubah adalah pilihan produk harus berpihak pada produk lokal," kata Direktur Eksekutif Institute of Public Policy and Economics Studies (Inspect) itu.
Belanja publik dalam bentuk kegiatan yang mendorong belanja dan rekreatif, menurut dia, perlu dipercepat dan diperbesar skalanya. Berbagai festival, bazar rakyat, dan penguatan pasar rakyat menjadi prioritas.
Pasar rakyat menjadi simpul ekonomi pada produksi dan belanja masyarakat, yang selama ini didominasi kelompok masyarakat menengah dan bawah.
"Dinamika pasar rakyat secara masif di semua daerah akan berkontribusi menahan pelemahan sektor perdagangan modern, yang semuanya berujung pada penyelamatan ekonomi nasional," katanya.
Menurut dia, saat ini ekonomi Indonesia dan beberapa negara di Asia serta Amerika Latin memasuki fase resesi ekonomi. Pada tahun 2015, laju pendulum menuju pelemahan ekonomi global telah nyata terjadi.
"Suka atau tidak suka, fakta makroekonomi global mengindikasikan terjadinya pusaran baru krisis ekonomi global," kata Ahmad.
Menekan Suku Bunga
Sementara itu, kalangan pengusaha mikro, kecil, dan menengah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendorong pemerintah menekan suku bunga kredit perbankan agar sektor usaha kecil dapat berkembang optimal sehingga bisa ikut menopang perekonomian nasional.
"Kami berharap suku bunga bisa ditekan lebih rendah agar UMKM mampu menolong pelambatan perekonomian nasional," kata Ketua Komunitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KUMKM) DIY Prasetyo Atmosutidjo di Yogyakarta, Rabu (26/8).
Menurut dia, suku bunga kredit pinjaman modal yang rata-rata diterapkan perbankan masih 12 persen.
Hal itu karena suku bunga acuan (BI rate) yang ditetapkan pemerintah masih tinggi, yakni 7,5 persen.
"Saya kira dengan suku bunga kredit 12 persen, pemerintah belum mampu mendorong UMKM untuk lebih bergairah sehingga bisa ikut menolong pelambatan perekonomian saat ini," katanya.
Apabila suku bunga kredit masih tinggi, menurut dia, pelaku UMKM akan sulit bersaing dengan produk luar negeri sehingga peningkatan produksi untuk pasar domestik maupun ekspor akan sulit direalisasikan.
Menurut Prasetyo, produsen luar negeri, khususnya Tiongkok, akan tetap menjadi saingan berat karena pemerintah Tiongkok secara konsisten mendukung UMKM dengan memfasilitasi pinjaman modal dengan bunga rendah.
"Di Tiongkok suku bunga acuan masih 4,6 persen sehingga efektif mendukung produktivitas UMKM di negeri itu," katanya.
Padahal, kata dia, mengacu pengalaman krisis yang terjadi pada tahun 1998, UMKM yang jumlahnya mencapai 98 persen, pelaku ekonomi di Indonesia berperan penting menolong perekonomian nasional.
"Mestinya apabila suku bunga rendah, UMKM dapat memanfaatkan pelemahan nilai tukar dengan menggenjot ekspor," kata Prasetyo.
Tidak Membebani UKM
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan optimistis pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak terlalu membebani aktivitas produksi usaha kecil menengah di daerah ini.
"Saya yakin UKM kita tetap bertahan dan tidak terlalu terbebani meskipun ada yang terdampak pelemahan nilai tukar rupiah. Namun, tidak banyak," kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM (Disperindagkop UMKM) DIY Kadarmanta Baskara Aji di Yogyakarta, Selasa (25/8).
Menurut dia, kecilnya dampak pelemahan nilai tukar rupah bagi para pelaku UKM di DIY karena sebagian besar produk usaha mereka menggunakan bahan baku lokal.
Kadarmanta menyebutkan dari seluruh UKM di DIY, tidak lebih dari 15 persen yang bergantung pada bahan baku impor. "Usaha kecil dan menengah di DIY tidak terlalu banyak yang bergantung pada bahan baku impor," katanya.
Selain itu, kata dia, pelemahan nilai tukar rupiah hingga saat ini juga tidak memengaruhi harga komoditas pokok di DIY, seperti cabai, daging ayam, telur, beras, bawang putih, dan bawang merah. "Di DIY kenaikan harga bahan kebutuhan pokok lebih banyak dipengaruhi faktor persediaan atau stok," kata dia.
Meski demikian, Kadarmanta berharap UKM di DIY khususnya yang telah menjual barang produksinya ke luar negeri agar memanfaatkan momentum itu untuk menggencarkan ekspor.
"Kami harap bisa menambah produksi dan ekspor lebih banyak. Selain menambah keuntungan, juga tentunya bisa membuka lapangan kerja lebih banyak," kata dia.
Terkait dengan itu, Komunitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KUMKM) DIY mengimbau pelaku usaha di daerah ini mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor agar tidak mudah terdampak oleh gejolak perekonomian global.
"Seperti penguatan mata uang dolar AS saat ini tentu akan memberi pengaruh besar bagi pelaku UKM yang masih mengandalkan bahan baku impor," kata Ketua KUMKM DIY Prasetyo Atmosutidjo.
Menurut dia, hingga saat ini 50 persen UKM di DIY masih bergantung pada bahan baku impor. Misalnya, perajin batik, pengusaha pakaian, perajin tahu-tempe, serta pengusaha kecil dan menengah lainnya. "Perajin batik masih sulit melepaskan diri dari bahan baku impor, di antaranya kain cotton, serta bahan pewarna tekstil," katanya.
Oleh sebab itu, kata dia, ketika harga bahan baku impor melonjak akibat penguatan dolar AS, perajin terpaksa menaikkan harga jual produksinya di pasaran. "Meski menjadi pilihan terakhir, menaikkan harga jual tidak bisa dihindarkan," katanya.
Lebih dari itu, menurut dia, apabila tren pelemahan nilai tukar rupiah terus melemah, dikhawatirkan kebijakan efisiensi masing-masing pengusaha akan mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Dengan demikian, dia juga berharap pemerintah dapat mendukung para perajin meningkatkan produktivitasnya dengan memberikan alternatif bahan baku lokal dengan harga yang terjangkau.
"Jadi, bukan hanya perajin yang mengurangi bahan impor, melainkan pemerintah juga perlu mencarikan alternatif," katanya.
Semoga usaha kecil dan menengah bisa menjadi penyelamat perekonomian nasional sebelum terlambat.
(M008)
Berita Lainnya
Rektor UIN Yogyakarta: RI bisa menjadi penengah konflik Iran-Israel
Selasa, 16 April 2024 16:29 Wib
MotoGP: Pembalap Vinales ragu bisa finis
Selasa, 16 April 2024 12:52 Wib
Mobil bisa terbakar usai kecelakaan, catat penyebabnya
Selasa, 9 April 2024 2:14 Wib
Meski tergenang rob, Jalur Pantura Sayung Demak, Jateng, bisa dilintasi kendaraan pemudik
Selasa, 9 April 2024 2:08 Wib
Pelatih MU campur aduk tak bisa tekuk Liverpool
Senin, 8 April 2024 15:22 Wib
Permainan apik Antony bisa bantu MU gulung Liverpool
Minggu, 7 April 2024 8:58 Wib
Hati-hati, sariawan bisa menjadi tanda awal kanker lidah
Kamis, 4 April 2024 16:18 Wib
SIGMON, aplikasi yang bisa dimanfaatkan cek konektivitas selama Lebaran 2024
Selasa, 2 April 2024 6:50 Wib