Kemlu: pemerintah-akademisi perlu mengkaji peluang dalam TPP

id Trans-Pacific Partnership

Yogyakarta (Antara Jogja) - Pemerintah serta akademisi perlu segera mengkaji secara seksama peluang Indonesia apabila masuk dalam kemitraan Trans-Pacific Partnership atau TPP, kata pejabat Kementerian Luar Negeri RI.

"TPP merupakan dinamika baru. Mau cepat atau lambat kita harus siap," kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri, Salman Alfarisi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis.

Dalam diskusi "Prospek Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Strategi Perdagangan Bebas Indonesia" itu Salman mengatakan, pemerintah serta akademisi perlu mengkaji seberapa besar keuntungan atau kerugian apabila Indonesia ikut serta dalam TPP.

"Kalau kita berani memutuskan tidak ikut bergabung lalu apa "cost"-nya? apakah kita sudah berani menghadapi persaingan sengit di tingkat regional yang notabene beberapa negara ASEAN telah bergabung dengan TPP," kata mantan Dubes RI untuk Uni Emirat Arab itu.

Seperti diketahui, empat negara ASEAN yakni Singapura, Malaysia, Brunei, dan Vietnam telah ikut bergabung pada pakta perdagangan bebas TPP. Mereka telah melakukan perundingan bersama dengan negara anggota TPP lainnya yakni Amerika Serikat, Australia, Chili, Kanada, Jepang, Meksiko, New Zealand dan Peru.

TPP, menurut dia, akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian global. 12 negara yang telah menyatakan diri bergabung dalam TPP mewakili 2/3 potensi ekonomi global.

Bahkan, menurut dia, negara-negara yang tergabung dalam TPP akan mendapat fasilitas tarif bea masuk ekspor yang sangat rendah. "Tarif yang dibicarakan bukan skala-skala yang seperti kita tahu di WTO (World Trade Organization), tapi tarifnya "zero percent". Ini luar biasa, sehingga kurang pas kalau tidak kita sikapi secara seksama," kata dia.

Dalam TPP, kata Salman, tidak ada perbedaan antara satu negara baik negara maju maupun yang berkembang. Berbagai kesepakatan yang adalam TPP akan mengubah seluruh norma hubungan internasional yang ada.

"Ini suatu hal yang barangkali bagi negara berkembang akan signifikan berpengaruh," kata dia.

Oleh sebab itu, sebelum Indonesia bersikap menyatakan diri bergabung atau tidak, menurut Salman, diperlukan upaya instrospeksi diri apakah gejolak perekonomian yang ada di Indonesia dengan mudah mampu menyesuaikan dengan kesepakatan TPP.

Selain itu, menurut dia, juga perlu dikaji apakah aspek perundang-undangan yang berlaku di Indonesia cukup fleksible membentengi kepentingan nasional ketika bergabung dengan TPP.

(L007)