Menjaga lahan gambut tetap basah

id Menjaga Lahan Gambut Tetap Basah

Menjaga lahan gambut tetap basah

Lahan gambut di Provinsi Jambi (FOTO ANTARA )

Yogyakarta (Antara Jogja) - Bencana asap tak kunjung usai, sisa titik api yang masih menjalar di lahan gambut di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, serta Kalimantan Tengah hampir mustahil dihilangkan secara total tanpa menunggu datangnya musim hujan.

Meski belum ditetapkan sebagai bencana nasional, setidaknya kepulan asap akibat kebakaran lahan telah merusak kesehatan ribuan penduduk, mulai penyakit infeksi saluran pernafasan atas, asma, iritasi mata, serta kulit. Kepulan asap juga melumpuhkan aktivitas penduduk, bahkan hingga ke negara tetangga seperti Singapura.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada September 2015 mengumumkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Pontianak, Kalimmantan Barat, berada pada angka 705 (Berbahaya), Palangkaraya (Berbahaya), Palembang 261 (Sangat Tidak Sehat), dan Pekanbaru 208 (Tidak Sehat).

Berdasarkan data yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Jambi ada 20.471 orang terpapar ISPA, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang.

Di Sumatera Selatan kebakaran hutan dan lahan gambut telah terjadi berulang kali sejak 1997. Selain dipicu pembakaran secara sengaja untuk konversi lahan, menurunnya kelembaban lahan akibat berkurangnya kadar air juga dinilai mengakibatkan lahan mudah terbakar.

"Kekeringan lahan akibat kurang air ditambah dengan efek Elnino juga dapat menjadi penyebabnya," kata pakar perubahan iklim Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Sudibyakto yang juga ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI).

Menurut ketua Pokja Kebakaran Hutan dan Lahan IABI, Azwar Maas keringnya kondisi lahan gambut saat ini disebabkan, air area gambut didrainase untuk sawit serta HTI, sehingga merusak satuan hidrologis di kawasan itu.

"Akibat kondisi itu, gambut yang semula suka air (hydrophilic) pun menjadi tidak suka air (hydrophobic), kering dan berdebu," kata Azwar.

Tanaman penutup tanah, cover crop dan rumput atau semak, menurut dia, juga menjadi kering karena zona perakarannya tidak lagi mampu menyerap air.



Konservasi Air



Terlepas dari faktor pembakaran secara sengaja, Azwar mewanti-wanti agar konservasi air di kawasan lahan gambut terus digalakkan untuk mencegah terus berulangnya kebakaran gambut.

"Konservasi air diperlukan khususnya di kubah lahan gambut," kata Azwar dalam Rountable Discussion mengenai "Solusi Kebakaran Hutan dan Lahan serta Dampak Perubahan Iklim" di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (7/10).

Menurut dia, berbagai metode konservasi air di kubah gambut berguna untuk menjaga wilayah hutan gambut tetap basah kendati di musim kemarau. Apalagi, terus berlangsungnya proses evaporasi (penguapan) selama kebakaran telah membuat kondisi lahan semakin kering.

Selain itu, air juga bermanfaat untuk menjaga vegetasi rerumputan di kawasan lahan gambut tetap hidup sebagai sumber oksigen di kawasan itu. "Karena akar masalahnya itu, kalau itu tidak ada yang tidak akan selesai," kata dia.

Ia mengatakan karena pusat keberadaan sumber air ada di rawa-rawa yang berlokasi di bawah kawasan lahan, salah satu metode yang ditawarkan ialah membuat sistem pompanisasi melalui pipa-pipa saluran yang didesain secara tertutup, menyerupai pipa penyaluran BBM yang dimiliki PT Pertamina.

"Dengan lorong (pipa) tertutup maka air bisa memiliki power naik ke atas, seperti selang Pertamina yang mampu mencapai ratusan kilometer dengan medan yang naik turun," kata dia.



Kanalisasi

Untuk menjaga kondisi lahan tetap basah, Presiden Joko Widodo juga memiliki cara sendiri dengan menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membangun kanal di Kalimantan Tengah.

Kendati demikian, ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya, Momon Imanudin, mengatakan, sekat kanal di lahan gambut harus dilengkapi pintu air agar berfungsi sebagai penjaga kelembaban tanah dan pencegah kebakaran.

"Keberadaan sekat kanal tidak ada gunanya jika tidak dilengkapi sarana dan prasarana pintu air, karena di saat musim kemarau, air akan terbuang ke sungai akibat tidak ada sarana yang mencegah air itu mengalir," kata dia.

Menurut dia, gambut yang hampir semuanya terdiri dari bahan organik dan tidak mengandung fraksi liat dan mineral sebagaimana halnya tanah kebanyakan, memang mutlak harus selalu terendam air.

Sementara itu, Guru Besar fakultas Geografi UGM, Prof Hartono mengatakan untuk memprediksi potensi kebakaran hutan atau lahan di kemudian hari, pemerintah juga perlu melakukan pemetaan melalui data yang diproduksi oleh alat penginderaan jarak jauh dan SIG. "Untuk itu perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menanggulangi kebakaran hutan mengingat fakta penyebabnya dapat ditelusuri," kata Hartono.



Revisi PP Pengelolaan Gambut



Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) merekomendasikan kepada pemerintah agar merevisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut untuk menghindari kembali terjadinya bencana asap.

"Aturan mengenai penggunaan lahan gambut memang perlu segera diatur kembali," kata ketua IABI, Prof Sudibyakto.

Menurut Sudibyakto, revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut diperlukan untuk memetakan antara lahan gambut yang dapat dikonversi dan lahan yang harus tetap dijaga, sebab secara hidrologis kawasan lahan gambut di Indonesia sudah sangat rentan.

"Sehingga daerah gambut yang tidak dapat dikonversi ya jangan dikonversi," kata dia.

Sementara itu, ia mengatakan, untuk lahan yang sudah dikonversi tidak akan mudah untuk dipulihkan kembali, namun demikian pemerintah masih dapat mengatasi dengan mengurangi atau memoratorium pengalihan lahan gambut menjadi perkebunan sawit atau perkebunan lainnya.

"Agar distop dulu supaya tidak terjadi konversi menjadi perkebunan, karena kebakaran lahan ini sudah berulang terus," kata dia.

Apalagi, menurut dia, potensi kebakaran lahan kemungkinan masih akan terus berlangsung selama ancaman pengaruh Elnino masih ada, sebab sebelum musim hujan tiba, pemadaman total sulit dilakukan. "Mungkin mengurangi bisa, tapi kalau memadamkan total sulit," kata dia.





Sanksi Pembakar Lahan



Sanksi bagi pelaku pembakar hutan atau lahan gambut sebaiknya ditingkatkan sesuai dengan tingginya kerugian negara, kata Deputi Bidang Kebencanaan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Wisnu Widjaja.

"Untuk memberikan efek jera maka perlu ditingkatkan karena dampak kerugian yang ditimbulkan sangat besar," kata Wisnu Widjaja.

Wisnu mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam Pasal 50 Huruf D disebutkan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dengan alasan apapun.

Namun, kata dia, pada Pasal 78 disebutkan para pembakar hutan hanya dikenai denda maksimal Rp5 miliar, dengan kurungan penjara 15 tahun. "Hukuman itu tentu sangat ringan, denda Rp5 miliar tidak setara dengan dampak kerugian yang bisa mencapai triliunan rupiah," kata dia.

Apalagi dampak kabut asap yang ditimbulkan, menurut dia, juga cukup luas mengganggu aktivitas serta kesehatan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri.

Menurut dia, upaya peningkatan sanksi wajar dilakukan, sebab peristiwa pembakaran hutan atau lahan gambut untuk kepentingan pembukaan lahan sudah berulang kali terjadi baik di Sumatera maupun Kalimantan.


(T.L007)
Pewarta :
Editor: Luqman Hakim
COPYRIGHT © ANTARA 2024