Rayuan Cendrawasih dan cerita ular naga Korben

id cendrawasih

Rayuan Cendrawasih dan cerita ular naga Korben

Burung Cendrawasih, ilustrasi (paling-unik.com)

Seekor Paradisea minor jantan bergerak lincah di ketinggian delapan meter, sesekali bulu-bulunya yang berwarna oranye kekuningan menjuntai  bersamaan dengan suara nyaring dan kepakan sayap yang memecah kesunyian pagi. Tidak lama Paradisea minor jantan lain mendekati, bertengger pada dahan pohon yang sama dan mulai ikut membuat keributan.

Belum genap pukul 07.00 WIT, namun hutan lebat dan lembab Sawendui di utara Kepulauan Yapen, Papua, pagi itu seketika riuh oleh ulah mereka. Tidak puas beraksi di satu dahan mereka berpindah ke dahan pohon selanjutnya yang lebih tinggi.

Berulang kali mereka melakukan hal sama, mengeluarkan suara nyaring sambil berpindah pada dahan dan pohon yang sama. Bertarung hingga titik darah penghabisan, sampai ada sang betina yang luluh dan berkenan bercumbu dengan sang juara di pagi itu.

Itu lah Cenderawasih, burung "surga" dari timur Indonesia yang  memiliki 39 cara untuk merayu si betina. Tidak heran jika ornithologist asal Inggris Ed Scholes menyebutnya "the survival of the sexiest", karena tidak ada Cenderawasih jantan yang bisa mempertahankan garis keturunannya jika tidak bisa tampil lebih seksi di antara jantan lainnya.

Untuk menemukan satu spesies burung "surga" di Yapen ternyata tidak begitu sulit, karena burung yang juga dikenal dengan sebutan Cenderawasih kuning-kecil ini begitu setia melakukan aksi rayuan pada sang betina pada waktu, lokasi, pohon, dan dahan yang sama.

"Iya, mereka tidak pernah berpindah, selalu di sana, selalu pada pohon-pohon yang sama. Mereka melakukannya di pagi hari antara pukul 06.00 hingga 08.00 WIT, dan di sore hari antara pukul 15.00 hingga sebelum 17.00 WIT," kata salah seorang penjaga habitat Cenderawasih di Sawendui Abdul Halim (31) kepada Antara saat melakukan pengamatan Cenderawasih bersama tim Ekspedisi Saireri WWF Indonesia.

Tidak hanya di satu lokasi ini saja, karena di seberang Sungai Kasuari yang membelah hutan Sawendui ini juga ada lokasi lain tempat burung-burung Cenderawasih jantan lainnya melancarkan tarian dan rayuannya pada si betina. Tempat menari dan merayu burung ini tidak pernah beralih dari kayu besi (Instia bijuga), pala (Palaquim amboinensis), beringin (Ficus sp), dan jambu hutan (Eugenia sp).

Namun pagi itu tidak ada yang berhasil menjadi "don juan", tarian dan rayuan si jantan gagal meluluhkan hati si betina. Lebih dari 20 menit beberapa jantan bertarung dengan mengepakan sayap dan menjuntaikan ekor, bergerak lincah ke sana kemari, namun cumbuan "maut" Cenderawasih tidak benar-benar terjadi.

Jumlah betina yang lebih sedikit ketimbang jantan di hutan Sawendui tersebut kadang membuat cumbuan-cumbuan maut burung surga di pagi dan sore hari gagal total, ujar laki-laki keturunan Serui--Makassar tersebut. Berbeda dengan di Kampung Barawai yang justru jumlah betinanya lebih banyak dari jantan.

Tarian Cenderawasih itu luar biasa, paling tidak itu yang digambarkan Kepala Bidang Dinas Pendidikan Sekolah Dasar Kabupaten Kepulauan Yapen Marinus Manufamdu saat berbincang di atas KM Gurano Bintang saat tim Ekspedisi Saireri berlabuh di perairan Barawai.

Gerak kaki burung "surga" ini lah yang menjadi gerak dasar dari setiap tarian yang ada di di tujuh wilayah adat besar di Tanah Papua, kata dia.

Begitu sakral masyarakat Papua menempatkan burung surga ini, karenanya hanya tujuh kepala suku raja saja yang boleh mengenakannya sebagai mahkota. Bahkan seorang gubernur hingga presiden pun sebenarnya tidak boleh mengenakannya.

Sayangnya penggunaannya meluas bukan hanya oleh kepala suku raja, hingga perburuan pun menjadi ancaman terbesar bagi keberlanjutan burung "surga" di Papua. Kebutuhan uang dengan cepat sering kali membuat masyarakat memburu burung dengan status dilindungi ini.

"Kadang kalau ada yang butuh uang mendesak untuk biaya transportasi keluar pulau, seperti untuk tes panggilan kerja, mereka memburu Cenderwasih. Itu cara yang paling cepat dapat uang, harga burung yang sudah diberi air keras bisa lebih dari Rp2 juta," ujar Abdul.

Yapen yang berada di Teluk Cendrawasih dan menjadi bagian dari wilayah adat besar Saireri hanya memilik empat dari total 39 spesies Cenderawasih, kata staf magang WWF Indonesia Program Papua yang kebetulan ornithologist lulusan Fakultas Biologi Universitas Cenderawasih Muhammad Ihsan. Keempat spesies tersebut antara lain  Paradisea minor, Cicinnurus regius, Cicinnurus magnificus, dan Sicklebill.

         
Korben dari Biak
    
Lain Yapen lain pula Biak. Pulau Pasi di bagian timur gugusan Kepulauan Padaido, Biak Numfor, yang masih menjadi bagian dari Teluk Cenderawasih menyimpan cerita tentang kemunculan Korben (baca: Korwen).

Korben, sosok ular naga berukuran relatif besar dengan mayoritas bagian tubuhnya berwarna hijau dan bersisik tajam  memiliki empat kaki layaknya seekor Komodo, muncul dan mengganggu warga kampung yang bermukim di utara Biak.

Tete (kakek) Thom Kafiar (70) kepada Forest Officer WWF Indonesia Program Papua Rianto Stev Amir dan Antara menggambarkan bahwa kemunculan Korben berhasil membuat warga dirundung rasa takut, berlari tunggang-langgang dan  akhirnya terpecah menjadi banyak kelompok.

"(Kemunculan Korben) pertanda buruk," kata tete yang ternyata lulusan Sekolah Rakyat Pasi di 1958 ini.

Benar saja, kemunculan Korben yang diyakini masyarakat merupakan  jelmaan manusia itu diikuti oleh peristiwa besar yakni Perang Dunia II di mana Biak menjadi medan perang sengit antara pasukan Sekutu dengan Jepang.

Saat itu pula moyang mereka  hidup tersebar di sejumlah Kepulauan Padaido, memutuskan keluar dari bagian utara Biak dan mencari tempat baru untuk hidup lebih tenang jauh dari desingan peluru dan hantaman bom milik tentara Sekutu dan Jepang.

Pulau Mbromsi yang tepat berada di utara Pulau Pasi pada awalnya justru menjadi lokasi awal sang moyang menetap. Sampai akhirnya ada di antara mereka diminta untuk menyeberang ke Pulau Pasi yang awalnya belum bernama.

Pulau Pasi yang dikelilingi pasir halus berwarna putih bersih ini kala itu tertutup rapat oleh mangrove, mustahil mendarat di sana jika pohon-pohon khas pesisir penahan ombak dan tempat berpijah biota laut ini tidak dicabut.

"Pohon masih lebat. Kita bilang pasi (cabut) pohonnya supaya bisa masuk perahunya, dari sana asal nama Kampung Pasi," ujar tete Thom yang ditemani dengan setia oleh sang istri, nenek Sarje Koibur, saat bercerita di bawah pohon jambu rindang di pekarangan rumahnya.

Kakek dengan janggut putih asli kelahiran Biak pada 9 Mei 1946 ini begitu bersemangat menceritakan asal usul kampungnya beserta masyarakat yang mendiami Pulau Pasi dan Mbromsi. Sejumlah buku tulis, buku sejarah, hingga buku gambar tempat dirinya menggambarkan sosok Koben disodorkannya pada Stev, sebagai penguat informasi yang baru diceritakannya.

Artefak seperti perhiasan dari kulit bia (kulit kerang besar) yang biasanya digunakan sebagai mas kawin serta tifa (alat musik khas Papua) yang dibuatnya sendiri juga diberikan pada staf WWF yang ternyata masih memiliki hubungan darah dengan nenek Sarje ini.

Dengan masih lebatnya kanopi hutan primer Yapen maka tarian dan rayuan burung "surga" tentu akan tetap ada. Dengan kecintaan akan Nusantara, maka cerita rakyat seperti Korben tentu tidak akan terkubur oleh waktu.***4***(V002)

Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024