Jalan Mulus Percepat Pembangunan Bandara Kulon Progo

id Bandara

Jalan Mulus Percepat Pembangunan Bandara Kulon Progo

Warga pesisir yang tergabung dalam Paguyuban Wahana Tri Tunggal, Kabupaten Kulon Progo, DIY, menolak rencana pembangunan bandara internasional diwilayah setempat. (Foto ANTARA/Mamiek)

Kulon Progo (Antara Jogja) - Tidak ada alasan menunda kebijakan pemerintah pusat yang akan mempercepat realiasi pembangunan bandara internasional di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasalnya, masyarakat mendukung meski ada yang masih "malu-malu" mengingat sejak awal menolak rencana tersebut.

Masyarakat terdampak bandara di lima desa (Jangkaran, Sindutan, Kebonrejo, Palihan, dan Glagah) terkejut dengan penetapan nilai ganti untung oleh tim penilai independen yang ditetapkan oleh PT Angkasa Pura I.

Semula mereka mengira bakal menerima ganti rugi di bawah ekspektasinya. Akan tetapi, pada kenyataannya ada di antara mereka yang menerima Rp6 miliar, Rp10 miliar, bahkan ada yang menerima ganti untung sebesar Rp120 miliar.

Pada awalnya warga yang menolak rencana pembangunan bandara sekitar 150 kepala keluarga. Namun, secara diam-diam mereka meminta tim dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tergabung dalam Satgas A dan B melakukan pengukuran lahan. Kini, tinggal 40 warga yang masih menolak rencana pembangunan bandara.

Kendati demikian, sejumlah warga itu tidak melakukan upaya hukum ke pengadilan. Mereka dianggap mendukung karena sudah disosialisasikan konsekuensi apabila mereka menolak pembangunan bandara, khususnya menolak pengukuran lahan yang mereka miliki.

Semakin sedikitnya jumlah rintangan dan warga yang menolak rencana pembangunan bandara seharusnya pemerintah pusat harus segera membangun bandara internasional menggantikan Bandara Adisutjipto yang sudah tidak layak untuk menampung sejumlah penerbangan. Apalagi, pertumbuhan pariwisata, budaya, dan ekonomi di DIY sangat tergantung pada bandara baru di Kulon Progo.

Pemerintah Kabupaten Kulon Progo secara intensif melakukan pendekatan persuasif dan humanis kepada warga terdampak bandara supaya mendukung kebijakan nasional itu.

Pertermuan kamisan hingga kesediaan pemkab melakukan diskusi dan menerima permasalahan dari warga terdampak bandara menjadi kunci sukses pembangunan bandara.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyiapkan lahan relokasi bagi warga terdampak bandara. Berdasarkan identifikasi, lahan relokasi warga terdampak bandara masih berada di kawasan pembangunan bandara.

Lokasi yang telah disiapkan, yakni di tanah kas Desa Glagah, Jangkaran, Sindutan, Kebonrejo, dan Janten. Selain itu, bagi warga terdampak bandara yang tidak mampu membeli tanah, Sri Paduka Pakualam X telah merelakan lahan milik Kadipaten Puro Pakualam di Girigondo seluas 15 hektare digunakan masyarakat dengan sistem magersari.

"Pemerintah menyediakan lahan relokasi seluas 200 hingga 300 meter persegi bagi warga terdampak rencana pembangunan bandara. Akan tetapi, kalau masyarakat menginginkan lahan di luar lahan relokasi, kami persilakan. Masyarakat memiliki banyak uang," kata Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo.

Identifikasi Persoalan

Persoalan dari masyarakat sudah dapat diminimalkan. Sekarang persoalan utama yang menjadi dalam tahapan realiasi pembangunan bandara yang harus dipecahkan oleh pemerintah, dalam hal ini PT Angkasa Pura I.

Adapun persoalan tersebut di antaranya pengadaan lahan, seperti pelaksanaan pengadaan tanah, pengukuran, appraisal, pembayaran, relokasi, dan insentif pajak.
Selain itu, jaringan listrik saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) yang memotong lahan bandara; aksesibilitas pendukung moda transportasi, seperti akses kereta api menuju bandara; masalah tsunami sehingga perlu adanya mitigasi; dan persoalan jalan Daendels, seperti pembuatan jalan yang memotong lahan bandara.

Persoalan utama sekarang adalah insentif pajak bagi penjual dalam hal ini warga terdampak bandara. Pemerintah Kulon Progo mengharapkan pemerintah pusat memberikan insentif pajak dalam pengadaan lahan bandara ini karena masyarakat Kulon Progo telah merelakan lahannya untuk pembangunan bandara.

"Kami mengharapkan insentif pajak. Biasanya, pajak penjualan dan pembelian tanah yang harus ditanggung masing-masing sebesar 5 persen. Bagi penjual, kami berharap diringankan menjadi 3 persen," kata Hasto.

Kebijakan insentif pajak ada ditangan Presiden Joko Widodo. Hal ini dikarenakan draf sudah ada di Sekretariat Negara, yang diharapkan ditetapkan sebelum pembayaran ganti untung pada tanggal 17 Agustus 2016.
L
"Berdasarkan informasi, kepastian insentif pajak sudah ada di Sekretariat Negara dan dalam waktu dekat akan ditandatangani oleh Presiden," kata Project Manager Kantor Proyek Pembangunan Bandara Baru (New Yogyakarta International Airport/NYIA) PT Angkasa Pura I Sujiastono.

Selanjutnya, persoalan SUTET, tinggal menunggu rencana induk bandara yang dibuat Angkasa Pura I. Dengan demikian, keputusan memindahkan SUTET tergantung pada Angkasa Pura I.

Berikutnya, persoalan moda transportasi kereta. Ada kesan saling menunggu antara Pemkab Kulon Progo, Angka Pura I, dan PT Kereta Api Indonesia. Perseroan Terbatas (PT) KAI masih menunggu situasi kondusif. Setelah itu, baru mereka melakukan pembebasan lahan dan membangun jaringan.

Di sisi lain, banyak warga Kulon Progo bertanya-tanya dan menunggu kapan PT KAI membangun jaringan kereta api di Kulon Progo.
Hal itu terlihat jelas kurangnya koordinasi lintas sektoral dalam percepaten pembangunan bandara di Kulon Progo.

Selain itu, perlu segara pembangunan infrastruktur jalan, seperti jalan jalur lintas selatan (JJLS), jalan nasional Yogyakarta-Purworejo, dan fasilitas lainnya.

(KR-STR)