Anggito ingin BPK jadi pemeriksa kinerja

id anggito abimanyu

Anggito ingin BPK jadi pemeriksa kinerja

Anggito Abimanyu. dok (foto ant/istw)

Jakarta (Antara) - Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anggito Abimanyu menginginkan BPK menjadi badan pemeriksa kinerja, bukan lagi menjadi lembaga pemeriksa keuangan.

"Saya punya mimpi, dalam sepuluh tahun, BPK jadi 'supreme audit institution' atau semacam mahkamah, sekarang kan masih badan. Mahkamah itu nantinya tidak lagi berkecimpung dalam pemeriksaan keuangan, tapi kinerja kementerian/lembaga," ujar Anggito saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu.

Menurut Anggito, berdasarkan praktik di negara lain serta pengalamannya ketika melakukan transformasi di Kementerian Keuangan dulu, sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk merealisasikan hal tersebut.

Nantinya, lanjut Anggito, BPK tidak lagi bertindak sebagai auditor melainkan sebagai penilai. BPK tetap dapat melakukan asersi atau atestasi terhadap laporan keuangan kendati yang membuat laporan bukan BPK melainkan inspektorat jenderal atau kantor akuntan publik.

"Jadi tidak ada lagi dualisme. Saya waktu di Kementerian Agama diperiksa oleh inspektorat jenderal, BPK, dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), dengan subjek dan objek yang sama. Itu tidak boleh lagi seperti itu," kata Anggito.

Terkait pemeriksaan kinerja, ia mencontohkan misalnya pembangunan terminal. Yang diukur tidak lagi berapa anggaran dan efisiensinya, melainkan efektivitas proyek tersebut dan manfaat ekonomi sosialnya.

Oleh karena itu, Anggito menilai kewenangan BPK perlu diubah dari kewenangan pemeriksaan keuangan menjadi pemeriksaan kinerja.

Karena pemeriksaan keuangan direncanakan akan diserahkan ke inspektorat jenderal, maka ia mengusulkan perlu ada perubahan Undang-Undang Kementerian Negara di mana inspektorat jenderal akan menjadi lembaga independen terhadap kementerian/lembaga.

"Jadi nanti akuntan-akuntan (di BPK) itu akan dipindah ke inspektorat jenderal," kata Anggito.

Selain itu, Anggito juga menilai ke depan perlu dilakukan pre-audit atau audit terhadap perencanaan pemerintah. Ia juga menilai dalam konstelasi tersebut, BPKP tidak lagi diperlukan.

"Sekarang kan post audit, makanya meskipun ia diaudit banyak pejabat kena kasus korupsi. Dari 525 kepala daerah, 200-an kena kasus Raperda (rancangan peraturan daerah), dan 323 kena kasus keuangan," kata Anggito. ***3***(C005)