"Street Art" ajak masyarakat cintai seni wayang

id Street Art ajak masyarakat cintai seni wayang

"Street Art" ajak masyarakat cintai seni wayang

Street art (Foto Antara/ Bambang Sutopo Hadi)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - "Street Art" Gatotkoco, Anoman, dan Punokawan yang dilakukan seniman Tejo Badut bersama dua seniman lain mengajak masyarakat untuk mencintai seni wayang.

"Seni wayang tidak sekadar hiburan, namun mengandung pesan moral, pendidikan, dan budi pekerti yang dalam," kata Tejo Badut usai "Street Art" di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, sejarah telah membuktikan bahwa melalui seni wayang, Walisongo berdakwah menanamkan akhlak kepada masyarakat.

"Street Art yang berlangsung 24-25 September 2016 itu merupakan rangkaian pameran seni rupa wayang bertajuk Goro Goro bersama 50 perupa," katanya

Pameran itu, kata dia, digelar di Pendopo Art Space Jalan Ringroad Selatan Tegal Krapyak, Sewon, Bantul, DIY, 3-10 Oktober 2016 oleh Kelompok Wedangan Yogyakarta.

"Street Art" dengan rute Tugu Pal Yogyakarta melintas Jalan Mangkubumi, Stasiun Tugu, Malioboro, Titik Nol, Kantor Pos, Alun Alun Utara, Pasar Ngasem, Tamansari, Alun Alun Kidul, Prawirotaman itu memukau khalayak di sepanjang jalan yang dilintasinya.

Selain melakukan "Street Art", Gatotkoco, Anoman, dan Punokawan juga menyebar brosur tentang wayang dan pameran seni wayang kepada masyarakat.

Panitia Pameran Seni Wayang, Chamit Arang mengatakan seni wayang merupakan salah satu produk budaya bangsa Indonesia yang diakui menonjol di antara budaya bangsa-bangsa lain di dunia.

Seni wayang meliputi berbagai seni yaitu seni suara, seni musik, seni peran, sastra, dan seni ukir/sungging. Seni wayang mengandung filosofi tinggi dalam perkembangannya berfungsi sebagai media penerangan, pendidikan, dakwah, dan hiburan.

Dalam jagad pakeliran atau pewayangan, menurut dia, goro-goro bisa berarti tanda-tanda perubahan atau pergantian jaman atau waktu, biasanya ditandai dengan pergolakan atau kejadian yang luar biasa.

"Akhir dari goro-goro adalah awal zaman kemapanan atau situasi yang lebih baik daripada sebelumnya," katanya.

Ia megatakan goro-goro adalah tanda perubahan waktu atau suasana dari pathet enem ke pathet sanga. Para penghuni kahyangan dewa-dewi, bidadara-bidadari, dan hapsara-hapsari geger kebingungan pontang-panting.

Akhirnya Sang Hyang Jagadnata (raja dewa) turun ke bumi membawa air kehidupan dan diteteskan di tempat yang tertimpa goro-goro, dan seketika goro-goro terhenti lalu kehidupan bumi pun menjadi tenteram dan damai.

Hal itu bersamaan dengan munculnya empat Punokawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong untuk menghibur diri dan mengajak sang kesatria pinilih untuk melanjutkan perubahan.

"Peran Punokawan sangat penting dalam goro-goro. Di sisi lain goro-goro mengandung pengertian huru-hara, suatu keadaan yang kacau, tidak menentu dan meresahkan," katanya.

Menurut dia, goro-goro dalam dunia kesenian bisa diartikan proses perjuangan kreativitas seniman untuk merespons keadaan suasana kehidupan sehari-hari.

"Goro-goro yang kita kenal di jagad pewayangan seakan terjadi juga gejalanya di alam nyata ini," kata Chamit.

(B015)
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024