Indef: daya saing Indonesia menurun

id daya saing menurun

Indef: daya saing Indonesia menurun

Ilustrasi, pembangunan infrastruktur terus dilakukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. dok ( ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd/16.)

Jakarta (Antara) - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, peringkat Indonesia dalam Indeks Daya Saing Global (CGI) terus menurun dari 34 pada 2014-2015 menjadi 41 pada 2016-2017.

"Beberapa pilar yang dinilai menurun antara lain institusi, kesehatan dan pendidikan, inefisiensi pasar, teknologi, serta inovasi," kata peneliti Indef, Eko Listiyanto kepada wartawan di Jakarta, Kamis.

Jika dibandingkan dengan India yang juga baru sekitar dua tahun dipimpin pemerintah baru di bawah Perdana Menteri Narendra Modi, Indonesia cukup jauh tertinggal karena hampir seluruh indikator CGI India versi Forum Ekonomi Dunia (WEF) menunjukkan hasil positif sehingga saat ini menempati peringkat 39.

Meskipun memiliki keunggulan yakni ukuran pasar yang besar, Indonesia dianggap belum bisa memaksimalkan potensi tersebut karena investasi dan kegiatan ekonomi yang ingin didorong melalui penerbitan 13 paket kebijakan ekonomi implementasinya sangat minim.

Indeks Kemudahan Berbisnis versi Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi 109, sangat jauh dibandingkan Malaysia peringkat 18, Thailand peringkat 49, dan Vietnam peringkat 90.

Beberapa indikator yang menjadi rapor merah bagi Indonesia yakni aspek memulai usaha, pendaftaran properti, pembayaran pajak, dan penegakan kontrak.

"Ini menunjukkan bahwa persepsi investor terhadap kegiatan ekonomi di Indonesia belum berubah dari beberapa tahun lalu yaitu masih terkait korupsi, inefisiensi birokrasi, dan infrastruktur yang tidak cukup. Ini pekerjaan rumah paling penting yang harus diselesaikan pemerintah kalau ingin memperbaiki ekonomi," tutur Eko.

Sementara dari segi industri, kontribusi sektor pengolahan atau manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional cenderung melemah yakni berkisar 20 persen, padahal pada 2001 sempat mencapai 29 persen.

Kondisi ini diperparah dengan implementasi hilirisasi industri yang masih minim sehingga ketergantungan atas hasil ekspor komoditas belum dapat teratasi dan menyebabkan nilai ekspor Indonesia sangat rentan terhadap gejolak perekonomian global.

Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,5 persen pada 2011-2015, ekspor manufaktur Indonesia menjadi yang terendah di ASEAN pada 2014 yakni 40 persen dari total komoditas ekspor, sementara Thailand tertinggi dengan 73 persen, disusul Vietnam 72 persen dan Malaysia 62 persen.

"Jadi dalam aspek produktivitas dan peningkatan daya saing, rapor Indonesia masih merah," ujar Eko. ***3***(Y013)