Pukat: waktu penanganan pidana pemilu terlalu singkat

id pukat

Pukat: waktu penanganan pidana pemilu terlalu singkat

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, Hifdzil Alim. (Foto Antara/ Victorianus Sat Pranyoto)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada menilai ketentuan pembatasan jangka waktu penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu kepala daerah terlalu singkat sehingga dikhawatirkan mudah terjadi penghentian prosesnya oleh kepolisian.

"Menurut saya seharusnya batasan waktu penanganannya bisa lebih fleksibel lagi," kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Hifdzil Alim di Yogyakarta, Senin.

Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota disebutkan bahwa kasus pidana pemilu sudah harus dilaporkan paling lama tujuh hari setelah temuan. Hasil penyidikan disertai berkas perkara harus diserahkan kepada penuntut umum paling lama 14 hari kerja terhitung sejak laporan diterima.

Menurut dia, batasan waktu itu jelas menyulitkan Bawaslu untuk mengumpulkan alat bukti yang selanjutnya diserahkan kepada kepolisian sebagai bahan penyidikan. Di tingkat kepolisian waktu penyidikan itu juga menjadi kendala untuk menuntaskan penyidikan.

"Sehingga aturan itu paling banyak dijadikan alasan penghentian penanganan kasus pidana," kata dia.

Menurut dia, meski saat ini telah dibentuk sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri atas Bawalu, Kejati, dan Kepolisian untuk mengoptimalkan penanganan pidana pemilu. Namun dengan batas waktu yang singkat tindak lanjut indikasi pidana pemilu tetap sulit dilakukan secara optimal.

Di sisi lain, kata Hifdzil, tantangan lain yang dihadapi Bawaslu dalam mengusut pidana pemilu seperti politik uang adalah waktu laporan yang dibatasi 60 hari sebelum waktu pemilihan.

"Padahal seperti yang selama ini kita yakini "serangan fajar" kerap kali muncul menjelang masa pencoblosan," kata dia.

Syarat penindakan politik uang juga harus dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Dalam hal itu, pembuktian menjadi lebih rumit karena penindakannya harus melibatkan aparat penyelenggara negara.

Karena itu, Hifdzil justru berharap dalam konteks pidana pemilu, unsur Panwaslu atau Bawaslu ke depan dapat bertindak langsung sebagai investigator di lapangan seperti penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan bisa langsung menyerahkan berkas hasil investigasinya ke Kejaksaan, tanpa melalui penyidikan oleh Kepolisian.

"Apakah Bawaslu bagian dari penyidik PPNS, itu masih menjadi perdebatan sejak dilakukan perubahan UU Pemilu," kata dia. ***2***

(L007)

Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024