Ahli: ucapan "dibohongi" merupakan penodaan Al Quran

id penodaan agama ahok

Ahli: ucapan "dibohongi" merupakan penodaan Al Quran

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berada di dalam kendaraan usai menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara. Dok (ANTARA FOTO/Pool/Eko Siswono Toyudho/aww/16.)

Jakarta (Antara) - Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir mengatakan ucapan "dibohongi" atau "dibodohi" saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berpidato di Kepulauan Seribu merupakan penodaan terhadap Al Quran.

"Penodaan membuat objek yang disasar itu agama. Yang lebih spesifik yaitu Al Maidah ayat 51. Ternoda karena apa? Bagaimana Al Quran menurut keyakinan agama Islam itu dikatakan dibodohi atau dibohongi. Menurut saya di situ letak menodainya," kata Mudzakkir saat memberikan keterangan dalam sidang kesebelas kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.

ia mengatakan bahwa menistakan itu sesungguhnya mempunyai mempunyai arti sama yang sama dengan mencemarkan.

"Tetapi kalimat yang dipakai Ahok dalam konteks ini lebih kepada penodaan. Sesungguhnya itu memiliki kosakata dua-duanya sama, artinya yang satu dikatakan menista Al Quran Surat Al Maidah ayat 51 yang kedua menodai Al Maidah 51," tuturnya.

Menurut dia, kata penodaan lebih tepat digunakan karena ada sedikit aspek objek dalam ucapan Ahok tersebut.

"Dalam arti kata seperti menodai bendera, ada objek yang ternoda. Kalau penistaan sama dengan penghinaan, objeknya sama tetapi lebih pada merendahkan martabat, kehormatan atau nama baik objek bersangkutan. Bahasa Indonesia gunakan kata penodaan, tidak bisa diubah penistaan," ucap Mudzakkir.

Sebelumnya, ahli agama Islam dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar dan ahli agama Islam dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas juga telah memberikan keterangan dalam sidang lanjutan Ahok.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.***2***(B020)
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024