Polda DIY rumuskan pelayanan hukum ramah difabel

id Polda diy

Polda DIY rumuskan pelayanan hukum ramah difabel

Polda D.I.Yogyakarta (Foto Antara)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas DIY menggelar diskusi kelompok terarah (FGD) untuk merumuskan pelayanan hukum yang ramah difabel.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Kombes Pol Frans Tjahyono saat membuka FGD di Yogyakarta, Selasa, mengakui hingga saat ini Polda DIY masih menemukan berbagai kesulitan dalam penanganan difabel yang berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku.

"Kami harapkan bisa membuat formulasi yang bagus selama tidak berseberangan dengan ketentuan perundang-undangan. Kalaupun berseberangan akan kami jadikan rekomendasi," kata Frans.

Frans mengatakan proses pengambilan keterangan terhadap difabel yang berhadapan dengan hukum selama ini sering terkendala persoalan komunikasi baik terhadap tunarungu, tunawicara, tunanetra, maupun tunagrahita. "Masih terbatasnya pemahaman mengenai disabilitas sehingga penanganan perkaranya kurang maksimal," kata dia.

Di sisi lain, ia mengatakan perlindungan dan pengayoman seluruh masyarakat termasuk penyandang disabilitas merupakan kewajiban Kepolisian sesuai amanat Undang-Undang (UU) RI Nomor 2 Tahun 2002.

Hal penting yang perlu dibahas bersama saat ini, menurut Frans, adalah terkait aturan kedudukan pendamping dan penerjemah difabel selama proses penyidikan dan persidangan.

Apalagi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga belum mengakomodasi kebutuhan pendamping atau penerjemah bahasa isyarat difabel selaku korban, atau tersangka.

"Tentu kami tidak bisa membuat peraturan perundang-undangan sendiri. Sehingga dari sini kami harapkan bisa memunculkan rekomendasi," kata dia.

Sementara itu, ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas DIY Setya Adi Purwanto mengatakan selama kurun 2014-2016 pihaknya mencatat 113 kasus hukum yang melibatkan penyandang disabilitas di DIY. Dari seratusan kasus itu, delapan kasus yang selesai, enam kasus masih proses, dan lima kasus tidak dilanjutkan proses hukumnya, dan selebihnya tidak dikatehui penyelesaiannya.

Adi mengatakan penyediaan pendamping atau penerjemah profesional memang menjadi kendala utama bagi difabel ketika menghadapi kasus hukum.

Selain tidak terakomodasi dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas juga hanya mengatur pendamping atau penerjemah bagi penydang disabilitas katagori anak-anak saat menghadapi proses hukum.

"Memang bagi polisi sulit meninggalkan KUHAP, sehingga kami harapkan terdapat celah atau rekomendasi yang bisa diajukan ke pusat," kata dia.***2***

(L007)
Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024