Rektor UGM: masyarakat harus selalu mewaspadai bencana

id dwikorita karnawati

Rektor UGM: masyarakat harus selalu mewaspadai bencana

Rektor UGM Prof Dr Dwikorita Karnawati. (Foto istimewa)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Dr Dwikorita Karnawati memperingatkan masyarakat untuk selalu mewaspadai bencana karena Indonesia berada pada daerah rawan bencana.
    
"Kondisi geologi Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng dunia menyebabkan negeri ini sering mengalami getaran atau guncangan. Bahkan tidak hanya gempa, tetapi juga banjir, tanah longsor, tsunami, dan puting beliung," katanya di Yogyakarta, Selasa.
    
Longsor di Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, menurut Dwikorita yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), hanya salah satu contoh.
    
Dalam kondisi di mana Indonesia berada pada daerah rawan bencana, kata dia, secara periodik gunung berapi akan mengalami erupsi. Akibatnya, akan membuat lereng-lereng curam yang tersusun oleh batuan rapuh dan tanah gembur menjadi labil.

Ia mengatakan, tanah labil tersebut akan bergerak dan menyebabkan longsor jika ada pemicu. Prosesnya bisa disebabkan hujan deras atau hujan yang tidak terlalu deras tetapi dalam waktu cukup lama.
    
"Pemicu lain adalah karena  getaran gempa. Interaksi kondisi alam dan curah hujan atau getaran gempa itu membuat tanah labil bergerak," kata Dwikorita.
    
Menurut dia, kondisi alam yang labil dan rapuh tersebut diperparah aktivitas manusia. Misalnya, pembukaan lahan secara tak terkendali dengan memangkas atau membongkar tanah yang dalam kondisi rapuh, termasuk banjir di berbagai daerah, tidak lepas dari perilaku manusia yang kurang menjaga lingkungan.
    
Terkait itulah Dwikorita mengingatkan tentang pentingnya mitigasi. Melalui mitigasi, korban dan kerugian akibat bencana bisa ditekan semaksimal mungkin. Silakan alam berproses, tetapi jangan sampai menimbulkan korban dan kerugian.
    
"Artinya, meskipun gempa atau tsunami tidak bisa dicegah, tetapi kerugian akibat bencana itulah yang seharusnya dicegah," kata perempuan kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1964 itu.
    
Terkait mitigasi, menurut Dwikorita, UGM juga telah melakukan berbagai upaya. Bahkan, upaya tersebut sudah dilakukan sebelum tahun 2000 melalui riset atau penelitian.
    
"Hasil riset perlu untuk diaplikasikan dan itu kami lakukan. Upaya pemelliharaan lereng, penataan lahan hingga mitigasi risiko bencana, semua dilakukan berbasis riset," kata penyandang gelar master dan doktor bidang geologi dari Universitas Leeds, Inggris, itu.
    
Dwikorita mencontohkan, UGM telah melakukan penelitian dan pemetaan di daerah rawan longsor untuk tata guna lahan. Selain itu, pengembangan sistem peringatan dini bencana banjir dan longsor yang telah berstandar dunia dan digunakan pula oleh Tiongkok dan Myanmar.
    
"Aplikasi penelitian UGM itu berbasis teknologi lokal dan melibatkan komunitas masyarakat," katanya.
    
Ia mengatakan, UGM tidak hanya mengandalkan peralatan berbasis riset teknologi, tetapi juga mengandalkan kearifan lokal masyarakat seperti adanya ilmu titen.
    
"Ilmu itu berkaitan dengan kepekaan warga mengenali potensi bencana tanpa alat di daerahnya sendiri," kata Dwikorita.
    
Sebelumnya, Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kondisi Indonesia memang rawan bencana, sehingga masyarakat harus selalu mewaspadainya.
    
"Bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan puting beliung masih terus mengancam hingga musim akhir penghujan. Masyarakat harus selalu waspada," katanya.
    
Ia mengatakan, berdasarkan data sementara yang dihimpun Pusdalops BNPB, selama 2017 terjadi 654 bencana di seluruh Indonesia. Dampaknya, 61 jiwa meninggal dunia dan hilang, 174 luka, dan 584.173 jiwa menderita dan mengungsi.
    
"Dampak lain, 5.534 rumah rusak dan 87.234 rumah terendam banjir. Dari jumlah rumah rusak tersebut, 1.192 rusak berat, 990 rusak sedang, dan 3.352 rusak ringan," katanya.

(B015)
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024