Para pakar hukum tawarkan "Shared Responsibility" MA-KY

id Pukat

Para pakar hukum tawarkan "Shared Responsibility" MA-KY

Pukat Korupsi FH UGM. Foto Antara/ Victorianus Sat Pranyoto

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Belasan pakar hukum dari berbagai lembaga maupun institusi pendidikan tinggi menggelar pertemuan di Yogyakarta, Rabu, membahas kemungkinan penerapan konsep "Shared Responsibility" atau pembagian peran Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam manajemen jabatan hakim.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril mengatakan konsep pembagian peran Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) mendesak diterapkan sebagai upaya memperbaiki marwah lembaga peradilan dalam melahirkan hakim-hakim yang berintegritas serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap wibawa badan peradilan itu.

"Konsep itu untuk menghilangkan adanya stigma `darurat integritas` dalam dunia peradilan yang telah menjadi sorotan publik," kata Oce dalam acara yang digagas Pukat UGM itu.

Menurut Oce, Konsep pembagian peran MA-KY dalam manajemen jabatan hakim dimaksud dalam pengangkatan, pembinaan, pengawasan, perlindungan, dan pemberhentian hakim dilaksanakan bersama oleh MA dan KY.

Manajemen pengelolaan jabatan hakim dengan menerapkan konsep itu, kata dia, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini karena rekrutmen hakim dalam UUD 1945 diartikan sebagai "opened legal policy" dalam UUD 1945. Dasar konstitusional berdasarkan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa "wewenang lain" dapat diartikan bahwa KY dalam melaksanakan "wewenang lain" melalui "shared responsibility" mulai dari rekrutmen, pembinaan, mutasi, promosi, pengawasan, hingga pemberhentian hakim.

"Di dalam UUD 1945 juga tidak disebutkan bahwa dalam manajemen pengelolaan jabatan hakim mutlak menjadi kewenangan MA," kata dia.

Menurut Oce, konsep "Shared Responsibility" MA-KY relevan diterapkan saat ini mengingat masih adanya praktik-praktik Korupsi, kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam rekrutmen hakim sehingga mencoreng marwah dan integritas hakim di dalam dunia peradilan.

Hal itu bertentangan dengan Pasal 14A (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, diatur bahwa prinsip-prinsip pengangkatan hakim pengadilan negeri yakni dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Selain itu, lanjut Oce, konsep "Shared Responsibility MA-KY" juga mendesak diterapkan karena tidak sedikit aparat penegak hukum, khususnya hakim yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Januari 2017 dari 43 aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi, 15 di antaranya merupakan hakim.

Klausul kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam pasal 24 B Ayat (1) UUD 1945, kata dia, tidak seharusnya diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang tidak memiliki relasi dengan organ pemerintahan lain. Merupakan sebuah kekeliruan apabila kekuasaan kehakiman menjadi sebuah lembaga negara yang tidak berelasi dalam koordinasi, supervisi dengan organ pemerintahan lainnya.

"Lagi pula Mahkamah Konstitusi juga mengakui bahwa KY adalah lembaga yang membantu MA dalam melaksanakan dan mewujudkan kekuasaan kehakiman," kata dia.***2***

(L007)
Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024