Ikan Nila di DIY negatif Virus Tilapia

id Ikan nila, tilapia virus, UGM

Ikan Nila di DIY negatif Virus Tilapia

Ilustrasi tempat pembudidayaan ikan air tawar di Sleman Yogyakarta. DOK (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/aww/16.)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta memastikan seluruh ikan nila yang dibudidayakan di daerahnya negatif terjangkit wabah virus Tilapia.

Hal itu disampaikan Kepala Bidang Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) DIY Suwarman Partosuwiryo di Yogyakarta, Kamis, mengacu hasil uji laboratorium sampel ikan nila bekerja sama dengan para peneliti dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 25 Mei 2017 dan 6 Juli 2017.

"Dari pengujian itu ikan nila yang dibudidayakan pelaku perikanan Yogyakarta dipastikan negatif virus Tilapia," kata Suwarman.

Suwarman mengatakan sejauh ini virus Tilapia (Tilapia lake virus/TiLV) memang belum pernah ada di Indonesia. Namun, virus yang khusus menjangkit ikan jenis nila (Oreochromis niloticus) itu telah memicu kekhawatiran para pembudidaya ikan di DIY karena dikabarkan telah menyerang perikanan di sejumlah negara seperti Israel, Ekuador, Mesir, Kolombia dan di kawasan Asia Tenggara telah menyerang perikanan di Thailand.

Sementara, dalam waktu yang bersamaan muncul laporan banyak ikan nila mati di Kecamatan Berbah, Sleman tanpa diketahui penyebabnya. Untuk menjawab kekhawatiran para pembudidaya ikan, DKP DIY langsung merespons dengan menggelar uji laboratorium terhadap sampel ikan nila yang mati dan yang masih hidup dengan menggandeng para pakar perikanan UGM.

"Mendengar kabar ikan nila bisa terserang virus, para pelaku perikanan bingung, bagaimana kalau menjadi wabah. Dengan hasil uji laboratorium ini kami berharap seluruh pembudidaya ikan di DIY tidak resah," kata Suwarman.

Menurut Suwarman, nila merupakan salah satu jenis ikan yang belakangan ini banyak diminati para pembudidaya ikan di DIY. Pada 2016, dari total produksi ikan budidaya di DIY sebanyak 76.884 ton, ikan nila berkontribusi mencapai 31.000 ton, satu tingkat di bawah ikan lele yang mencapai 38.000 ton. "Meski yang tertinggi masih lele, ikan nila banyak diminati karena mudah dibudidayakan, pertumbuhannya lebih cepat, serta lebih tahan penyakit," kata dia.

Selain itu, menurut dia, rasa ikan nila juga banyak diminati konsumen sehingga di pasaran harga ikan ini cukup bagus mulai Rp24.000 per kilogram (kg) di kalangan petani dan di supermarket bisa mencapai Rp29.000 per kg.

Ketua Tim Peneliti Laboratorium Perikanan UGM, Murwantoko menjelaskan dalam uji laboratorium menggunakan 30 sampel jenis ikan nila merah mati dan hidup yang diperoleh dari sejumlah pembudidaya ikan seperti di Wilayah Berbah dan Cangkringan, Sleman. Jenis ikan nila merah dipilih karena berdasarkan literatur dinilai paling banyak terjangkit Virus Tilapia.

Pengujian tingkat pertama pada 25 Mei 2017, menurut Murwantoko, dilakukan dengan pengamatan diagnosis pola kematian ikan serta pemeriksaan organ-organ saraf ikan menggunakan mikroskop. Hasilnya, ikan nila yang dilaporkan mati bukan disebabkan virus tilapia, melainkan dikarenakan faktor parasit.

Untuk lebih memastikan, lanjut dia, uji laboratorium kembali dilakukan pada 6 Juli 2017 dengan menggunakan PCR (Polymerase chain reaction) yang berfungsi memperbanyak (replikasi) DNA ikan nila sehingga dapat mudah diketahui ada atau tidaknya virus Tilapia pada ikan.

"Dari keseluruhan metode uji laboratorium sama sekali kami tidak menemukan gejala atau indikasi yang mengarah pada virus tilapia," kata Murwantoko yang juga dosen Jurusan Perikanan UGM itu.

Menurut Murwantoko, Virus Tilapia tidak bersifat "zoonosis" atau menular pada manusia. Kendati demikian, ia berharap virus itu tidak masuk ke Indonesia karena bisa cepat merusak budidaya perikanan khususnya ikan nila. "Kalau sudah masuk penularannya sangat cepat dan agak berat penanganannya," kata dia.***1***


(L007)