Bantul dampingi pengrajin untuk proses SVLK

id Perajin kayu

Bantul dampingi pengrajin untuk proses SVLK

Perajin Kayu Kasongan Nurmadi (49) perajin kayu sedang menunggu calon pembeli di tokonya yang berada di kawasan kerajinan kayu dan gerabah, Kasonngan, Bantul, Yogakarta (1/9). Kenaikan dolar yang cukup signifikan tidak memberikan keuntungan pada para

Bantul (Antara Jogja) - Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendampingi pengrajin kayu daerah ini untuk pengurusan sistem verifikasi legalitas kayu guna meningkatkan daya saing produk kerajinan mereka.

"Kalau kami itu sebetulnya selalu melakukan bahkan tiap tahun melaksanakan pendampingan untuk proses SVLK itu, proses itu bisa dilakukan secara perorangan atau bisa secara geografis," kata Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perindustrian Bantul Sulistyanto di Bantul, Kamis.

Menurut dia, dikatakan geografis itu karena pendampingan bisa dilakukan, mengingat kelompok pengrajin kayu seperti di sentra batik kayu Krebet Desa Sendangsari Pajangan yang mengajukan melalui koperasi, sehingga peserta pendampingan dari beberapa kelompok pengrajin.

"Kalau dari kami setiap tahun sekitar tiga sampai empat kegiatan pendampingan, akan tetapi kami memprioritaskan geografis untuk usaha mikro kecil, jadi bisa untuk orang banyak, kalau yang secara individu tidak jadi prioritas," katanya.

Ia menjelaskan, SVLK atau sebuah sistem di Indonesia yang didesain untuk memverifikasi legalitas produk-produk kayunya itu sudah diberlakukan pemerintah awal 2015, hal itu juga bertujuan untuk melawan pembalakan liar dan meningkatkan manajemen hutan.

"Jadi memang untuk industri kayu di beberapa negara Eropa, Amerika dan Asia juga ada Australia memang sudah mensyaratkan SVLK, artinya bahan baku kayu tersebut bukan pembalakan luar, jadi harus dari kayu produk hutan industri," katanya.

Sulis mengatakan, bagi pengrajin kayu yang skalanya sudah menengah dan besar dengan orientasi pasar ekspor tentunya persyaratan SVLK menjadi sebuah kewajiban, karena kalau tidak akan menjadi hambatan tersendiri bagi pelaku untuk memasuki pasar ekspor.

Bahkan, menurut pengamatannya, pengrajin kayu selama ini tidak banyak mengurus, namun ketika ada pesanan dari luar negeri baru mengurus, sehingga prosesnya membutuhkan waktu terkait SVLK itu, padahal sistem ini sudah berlaku sejak beberapa tahun lalu.

"Kalau memang perusahaan menengah kita hanya fasilitasi untuk pengurusannya, tidak sampai ke pembiayaan, untuk kisarannya sekitar Rp25 juta, namun itu tergantung produksinya, dan kalau untuk industri kecil kan itu (biaya) termasuk besar," katanya.

(T.KR-HRI)