Yogyakarta (ANTARA) - Sembari merampungkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Hudono mencoba melamar sebagai wartawan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada 1994.
Selain di UGM, ia juga mengenyam pendidikan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Yogyakarta atau sekarang dikenal Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) hingga lulus pada 1992.
Pria kelahiran Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 6 Maret 1967 ini tak pernah bermimpi menjadi wartawan. Dia mengaku kala itu lebih berminat menjadi dosen.
Hanya saja, ia telah lama mengenal dan bersinggungan dengan media massa lokal maupun nasional lewat sederet artikel yang ia tulis selama mahasiswa.
"Memang saat itu saya enggak ada cita-cita jadi wartawan," kenang orang nomor satu di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY ini.
Meski bermula dari iseng, Hudono sukses menembus serangkaian seleksi wartawan SKH KR hingga akhirnya mengikrarkan diri serius menggeluti profesi itu.
Menjadi jurnalis tak membuat rasa tanggung jawabnya sebagai mahasiswa UGM goyah. Pada 1996, ia merampungkan studinya di kampus biru itu.
Berkat totalitas dan keuletan menghadirkan berita bermutu, tulisan Hudono berjudul "Rufiah, Guru Tak Pernah Terima Gaji" yang terbit di SKH KR pada 21 Juli 1997 berhasil menyabet penghargaan dari Menteri Negara Urusan Peranan Wanita kala itu.
Seiring berjalannya waktu, Hudono yang saban hari memproduksi karya reportase untuk KR menyadari bahwa seorang wartawan membutuhkan organisasi untuk bernaung atau setidaknya memperoleh bantuan advokasi manakala menghadapi sengketa pemberitaan.
Mengikuti jejak para senior di SKH KR, ia kemudian bergabung dengan PWI DIY sebagai anggota usai melalui seleksi.
Pada 2006, ia pun didapuk menjadi pengurus Seksi Wartawan Hukum dan pada 2010 menduduki posisi Wakil Ketua PWI DIY Bidang Pembelaan Wartawan selama dua periode berturut-turut.
Perlindungan pers
Berbekal penguasaan ilmu hukum di UGM, Hudono tak canggung melakoni tugas-tugasnya, mulai dari mengadvokasi wartawan yang berhadapan dengan hukum karena profesi hingga menggelar program terkait perlindungan pers.
"Saya hanya ingin teman-teman wartawan mendapat perlindungan yang memadai," ucap pria yang pernah menjabat Redaktur Pelaksana SKH Kedaulatan Rakyat 2009-2015 ini.
Perjuangan pengungkapan kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin pun tak luput dari perhatian Hudono.
Udin dianiaya orang tak dikenal di rumahnya di Bantul pada 13 Agustus 1996.
Udin mengembuskan napas terakhir pada 16 Agustus. Hudono dan pada umumnya wartawan di DIY menduga kuat bahwa kematian Udin berkait berita yang ditulis di Harian Bernas.
Hampir setiap tahun, Hudono beserta para pengurus di PWI DIY mendatangi Polda DIY untuk mendesak penuntasan kasus itu.
Karena dinilai mandeg tanpa ada perkembangan signifikan, PWI DIY mengajukan gugatan praperadilan.
Gugatan itu disampaikan ke Pengadilan Negeri Sleman, DIY pada November 2013 dengan pokok gugatan meminta Hakim PN Sleman untuk memerintahkan kepada penyidik Polda DIY melanjutkan proses penyidikan tewasnya wartawan Udin sebagaimana dalam Laporan Polisi No.Pol LP/49/K/V/VIII/1996/Sek.Jts tertanggal 13 Agustus 1996.
"Kalau cuma diam saja polisi juga tidak proaktif akhirnya kami mengajukan gugatan praperadilan itu," ucap pria yang saat ini mengemban posisi sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Koran Merapi.
Meski demikian, PN Sleman menolak gugatan itu dengan alasan bahwa memerintahkan melanjutkan proses penyelidikan maupun mendesak penerbitan SP3 bukan kewenangan pengadilan.
Penanganan kasus Udin yang tak kunjung tuntas membuat Hudono gundah. Ketidakpuasan itu lalu dituangkan dalam buku yang berjudul "Susahnya Mencari Keadilan, Praperadilan Kasus Udin" pada 2014.
Baginya kasus Udin yang telah berusia 26 tahun lebih belum bisa dinyatakan kedaluwarsa, kendati secara regulasi terdapat perbedaan pendapat.
"Secara hukum mungkin masih ada perdebatan, tapi bagi pers kalau ada misteri yang belum terungkap berapapun lamanya enggak ada istilah kedaluwarsa. Kebenaran itu harus diungkap," ucap dia.
Berkaca dari kasus Udin, Hudono menginginkan perlindungan terhadap kerja jurnalistik di Indonesia semakin diperkuat. Hingga kini ia menyebut perlindungan itu masih lemah.
Hudono mengaku berulang kali mendorong para pewarta untuk bergabung dan tidak apatis dengan organisasi profesi wartawan termasuk PWI dengan harapan mereka mendapat perlindungan dan advokasi memadai manakala menghadapi masalah hukum atau sengketa terkait berita.
Ia juga mewanti-wanti agar apapun kondisinya, wartawan tetap bekerja secara profesional, tanpa menggadaikan profesi dan martabatnya.
"Kami juga menjalin kerja sama dengan Peradi (perhimpunan advokat Indonesia) sehingga kalau ada apa-apa bisa segera ditangani. Buktinya sampai sekarang enggak ada tuh wartawan yang dipidanakan," ujar pecinta olahraga tenis meja ini.
Selain di UGM, ia juga mengenyam pendidikan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Yogyakarta atau sekarang dikenal Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) hingga lulus pada 1992.
Pria kelahiran Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 6 Maret 1967 ini tak pernah bermimpi menjadi wartawan. Dia mengaku kala itu lebih berminat menjadi dosen.
Hanya saja, ia telah lama mengenal dan bersinggungan dengan media massa lokal maupun nasional lewat sederet artikel yang ia tulis selama mahasiswa.
"Memang saat itu saya enggak ada cita-cita jadi wartawan," kenang orang nomor satu di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY ini.
Meski bermula dari iseng, Hudono sukses menembus serangkaian seleksi wartawan SKH KR hingga akhirnya mengikrarkan diri serius menggeluti profesi itu.
Menjadi jurnalis tak membuat rasa tanggung jawabnya sebagai mahasiswa UGM goyah. Pada 1996, ia merampungkan studinya di kampus biru itu.
Berkat totalitas dan keuletan menghadirkan berita bermutu, tulisan Hudono berjudul "Rufiah, Guru Tak Pernah Terima Gaji" yang terbit di SKH KR pada 21 Juli 1997 berhasil menyabet penghargaan dari Menteri Negara Urusan Peranan Wanita kala itu.
Seiring berjalannya waktu, Hudono yang saban hari memproduksi karya reportase untuk KR menyadari bahwa seorang wartawan membutuhkan organisasi untuk bernaung atau setidaknya memperoleh bantuan advokasi manakala menghadapi sengketa pemberitaan.
Mengikuti jejak para senior di SKH KR, ia kemudian bergabung dengan PWI DIY sebagai anggota usai melalui seleksi.
Pada 2006, ia pun didapuk menjadi pengurus Seksi Wartawan Hukum dan pada 2010 menduduki posisi Wakil Ketua PWI DIY Bidang Pembelaan Wartawan selama dua periode berturut-turut.
Perlindungan pers
Berbekal penguasaan ilmu hukum di UGM, Hudono tak canggung melakoni tugas-tugasnya, mulai dari mengadvokasi wartawan yang berhadapan dengan hukum karena profesi hingga menggelar program terkait perlindungan pers.
"Saya hanya ingin teman-teman wartawan mendapat perlindungan yang memadai," ucap pria yang pernah menjabat Redaktur Pelaksana SKH Kedaulatan Rakyat 2009-2015 ini.
Perjuangan pengungkapan kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin pun tak luput dari perhatian Hudono.
Udin dianiaya orang tak dikenal di rumahnya di Bantul pada 13 Agustus 1996.
Udin mengembuskan napas terakhir pada 16 Agustus. Hudono dan pada umumnya wartawan di DIY menduga kuat bahwa kematian Udin berkait berita yang ditulis di Harian Bernas.
Hampir setiap tahun, Hudono beserta para pengurus di PWI DIY mendatangi Polda DIY untuk mendesak penuntasan kasus itu.
Karena dinilai mandeg tanpa ada perkembangan signifikan, PWI DIY mengajukan gugatan praperadilan.
Gugatan itu disampaikan ke Pengadilan Negeri Sleman, DIY pada November 2013 dengan pokok gugatan meminta Hakim PN Sleman untuk memerintahkan kepada penyidik Polda DIY melanjutkan proses penyidikan tewasnya wartawan Udin sebagaimana dalam Laporan Polisi No.Pol LP/49/K/V/VIII/1996/Sek.Jts tertanggal 13 Agustus 1996.
"Kalau cuma diam saja polisi juga tidak proaktif akhirnya kami mengajukan gugatan praperadilan itu," ucap pria yang saat ini mengemban posisi sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Koran Merapi.
Meski demikian, PN Sleman menolak gugatan itu dengan alasan bahwa memerintahkan melanjutkan proses penyelidikan maupun mendesak penerbitan SP3 bukan kewenangan pengadilan.
Penanganan kasus Udin yang tak kunjung tuntas membuat Hudono gundah. Ketidakpuasan itu lalu dituangkan dalam buku yang berjudul "Susahnya Mencari Keadilan, Praperadilan Kasus Udin" pada 2014.
Baginya kasus Udin yang telah berusia 26 tahun lebih belum bisa dinyatakan kedaluwarsa, kendati secara regulasi terdapat perbedaan pendapat.
"Secara hukum mungkin masih ada perdebatan, tapi bagi pers kalau ada misteri yang belum terungkap berapapun lamanya enggak ada istilah kedaluwarsa. Kebenaran itu harus diungkap," ucap dia.
Berkaca dari kasus Udin, Hudono menginginkan perlindungan terhadap kerja jurnalistik di Indonesia semakin diperkuat. Hingga kini ia menyebut perlindungan itu masih lemah.
Hudono mengaku berulang kali mendorong para pewarta untuk bergabung dan tidak apatis dengan organisasi profesi wartawan termasuk PWI dengan harapan mereka mendapat perlindungan dan advokasi memadai manakala menghadapi masalah hukum atau sengketa terkait berita.
Ia juga mewanti-wanti agar apapun kondisinya, wartawan tetap bekerja secara profesional, tanpa menggadaikan profesi dan martabatnya.
"Kami juga menjalin kerja sama dengan Peradi (perhimpunan advokat Indonesia) sehingga kalau ada apa-apa bisa segera ditangani. Buktinya sampai sekarang enggak ada tuh wartawan yang dipidanakan," ujar pecinta olahraga tenis meja ini.