Pakar: digital forensik bantu pembuktian "cyber crime"

id digital forensik, cyber crime

Pakar: digital forensik bantu pembuktian "cyber crime"

Ilustrasi

     Jogja (ANTARA Jogja) - Digital forensik dapat membantu pembuktian kasus "cyber crime" atau kejahatan di dunia maya, kata pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Aroma Elmina Martha.

"`Cyber Crime` atau `Computer Crime` adalah salah satu bentuk tindak pidana baru yang memerlukan pembuktian mengenai benar atau tidaknya seseorang diduga melakukan perbuatan pidana," katanya di Auditorium Fakultas Teknik Industri (FTI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa.

Pada diskusi panel digital forensik, ia mengatakan, salah satu pembuktian yang mulai berkembang dalam tindak pidana "cyber" itu adalah penggunaan digital forensik sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia.

"Kejahatan itu tidak langsung berhubungan dengan kerugian berupa fisik, tetapi kerugian data informasi dan kerugian materi yang tidak sedikit," katanya.

Ia mengatakan, salah satu kasus yang baru-baru ini hangat diperbincangkan di berbagai media adalah kasus sedot pulsa SMS premium.

Sampai saat ini, menurut dia, Polri masih melakukan pengusutan lebih lanjut dan mengembangkan kasus itu kepada tersangka lain yang diduga dari pihak "content provider" maupun operator.

"Kerugian baru dapat diketahui setelah `back up` data yang ada di hardisk ditelusuri melalui analisis digital forensik," katanya.

Kepala Sub-Direktorat (Kasubdit) I Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY AKBP Bakti Andriyono mengatakan, Magister Teknik Informatika Program Pascasarjana FTI UII dapat membuat konsep teknologi informasi untuk dapat menekan angka kejahatan di dunia maya.

"Hal itu perlu karena kasus `cyber crime` yang terjadi di Indonesia cukup banyak, karena banyaknya aktivitas para `hacker` di Tanah Air," katanya.

Menurut dia, "cyber crime" berdasarkan berbagai literatur dideteksi dari dua sudut pandang, yakni kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai sasaran.

Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas di antaranya pembajakan, pornografi, pemalsuan atau pencurian kartu kredit, penipuan lewat email, email spam, perjudian online, pencurian "account internet", terorisme, isu sara, dan situs yang menyesatkan.

"Kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai sasaran di antaranya pencurian data pribadi, pembuatan penyebaran virus komputer, pembobolan atau pembajakan situs, `cyber war`, denial of service (DOS), dan kejahatan berhubungan dengan nama domain," katanya.

Direktur PPs FTI UII Sri Kusumadewi mengatakan, isu "cyber crime" sangat menarik, karena kegiatan dunia "cyber" tidak dibatasi oleh teritorial negara dan relatif tidak berwujud.

Menurut dia, kejahatan "cyber" agak sulit dibuktikan karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik.

Selain itu, kata dia, pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi sehingga sudah tidak dapat lagi menggunakan hukum konvensional.

"Hal itu menjadi tantangan kita semua, tidak hanya akademisi, tetapi juga berbagai pihak terkait di antaranya Polri. MI PPs FTI UII sedang menyiapkan konsentrasi baru, yakni Sistem Keamanan dan Hukum Digital untuk menjawab tantangan tersebut," katanya. (B015)