Soeharto dinilai kental dengan petuah bernuansa Jawa

id soeharto dinilai kental dengan petuah

Soeharto dinilai kental dengan petuah bernuansa Jawa

Mantan Presiden Soeharto (Foto antaranews.com)

Jogja (ANTARA Jogja) - Mantan Presiden Soeharto merupakan sosok yang kental dengan petuah bernuansa Jawa yang cukup bermakna, kata pakar filsafat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Slamet Sutrisno.

"Petuah itu di antaranya `orang hidup harus tekun, teken, dan tekan`, `menjadi pejabat jangan hanya cari jenang (materi) tetapi carilah jeneng (nama baik)`, dan `mikul dhuwur mendhem jero`," katanya pada diskusi bedah buku "Pak Harto, The Untold Stories", di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, di luar sisi kontroversialnya, Soeharto mememiliki estetika kehidupan sebagai seorang presiden yang tidak banyak didengar dan diketahui oleh khalayak.

"Hal itu bisa dilihat dari kisah seorang pengamen Munari Ari yang waktu itu suka menumpang tidur di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Munari hapal pada Rabu dan Jumat setiap pekan Pak Harto melintas kawasan itu ketika akan bermain golf," katanya.

Ia mengatakan pada waktu itu muncul gagasan nakal bagaimana caranya Munari bisa mendekati Presiden Soeharto. Dengan berbagai cara akhirnya Munari berhasil berjajar di tepi jalan raya ketika iring-iringan mobil yang membawa Soeharto persis di depan mereka, kemudian mereka melakukan sikap sempurna seraya memberi hormat.

Hal itu, menurut dia, rutin dilakukan Munari. Semakin lama dengan sikap Munari tersebut justru Soeharto merespons simpatik. Suatu ketika saat melewati depan RSCM, mobil berjalan pelan-pelan dan tepat di depan Munari dan beberapa kawannya, Soeharto menurunkan kaca mobil.

"Saat itu Munari dan kawannya senang karena direspons Pak Harto, bahkan di lain waktu Munari sempat dipanggil ke rumah Mbak Tutut diperkenalkan kepada Pak Harto. Hal itu bukti nyata bahwa Pak Harto memang dekat dengan rakyat kecil," katanya.

Ia mengatakan, pascaberhentinya Soeharto sebagai presiden, ternyata tidak pernah berhenti memikirkan kesejahteraan rakyat. Hal itu disampaikan Hioe Husni Wirajaya, pemancing di Kepulauan Seribu yang menjadi rekan memancing Soeharto.

"Setelah merasa kasihan kepada rakyatnya yang masih saja sulit menjalani kehidupan di masa reformasi, Pak Harto memiliki ide seribu gerobak dorong untuk menjual nasi murah. Hitung-hitungannya dulu setiap pedagang akan dapat untung seribu rupiah per bungkusnya, tetapi sayang program itu tidak terealisasi karena Pak Harto keburu wafat," katanya.

Mantan Sekretaris Pribadi Presiden Soeharto, Irjen Pol Anton Tabah mengatakan, pada waktu itu Soeharto merasa sedih melihat reformasi yang belum banyak memberikan manfaat bagi kesejahteraan kepada masyarakat.

"Pak Harto menilai reformasi yang tanpa visi dikhawatirkan akan membawa demokrasi yang tanpa arah dan dapat menimbulkan persoalan," katanya.

(B015)