IPB perkenalkan budi daya jenuh air kedelai

id budidaya jenuh air kedelai

IPB perkenalkan budi daya jenuh air kedelai

Institut Pertanian Bogor (antaranews.com)

Budidaya jenuh air sangat baik dikembangkan di lahan petani pasang surut seperti di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua," kata Dosen dan juga peneliti Institut Pertanian Bogor Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, Jumat.
Bogor (ANTARA Jogja) - Dosen dan juga peneliti Institut Pertanian Bogor  Munif Ghulamahdi memperkenalkan budi daya jenuh air untuk peningkatan produksi kedelai di lahan petani pasang surut.

"Budi daya jenuh air sangat baik dikembangkan di lahan petani pasang surut seperti di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua," katanya saat ditemui di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jumat.

Ia mengatakan, dari budi daya jenuh air di lahan pasang surut mampu memproduksi 2 ton kecambah kedelai per hektare.

Dijelaskannya, produksi nasional kedelai rendah yakni 0,9 juta ton. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintah harus impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Rendahnya produksi kendelai lokal disebabkan beberapa hal di antaranya perluasan areal ke lahan sawah banyak terkendala karena konversi lahan (110.000 hektare/tahun) dan persiangan komoditas lainnya.

"Oleh karena itu perlu pengembangan lahan sub optimal seperti lahan pasang surut," katanya.

Dijelaskannya, lahan rawa pasang surut di Indonesia sebesar 20,1 juta hektare dan 9,53 juta hektare cocok untuk usaha pertanian. Dari jumlah tersebut 2 juta hektare sesuai untuk kedelai.

Salah satu kawasan rawa pasang surut yang ada di Sumatera Selatan luasnya mencapai 1,3 juta hektare dan 0,33 juta hektare sudah dipergunakan untuk pertanian rapuh atau fragile.

Ia mengatakan, keutamaan dari budi daya jenuh air di lahan pasang surut selain dapat menghasilkan kedelai dalam jumlah banyak juga dapat mengatasi masalah pirit.

"Teknologi budi daya jenuh air menggunakan pola tanam di lahan rawa dimana kedelai ditanam di areal seluas 2 hektare lalu. Kedelai ditanam di bidang lahan seluas 2 meter dimana jarak antara masing-masing bidang dibatasi dengan air," katanya.

Teknologi budi daya jenuh air, katanya, dikembangkan di lahan petani di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lagos, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Dalam penelitiannya tersebut ia mampu menghasilkan 400 kecambah kedelai dalam satu tanaman kedelai.

Pada penelitiannya tersebut ia juga mengukur pengaruh tinggi muka air dan varietas terhadap produktivitas kedelai seperti para kedalaman muka air 10 cm, dapat menghasilkan 0,85 ton perhektar kedelai dari varietas tunggamus, 0,16 ton/ha varietas slamet, 0,30 ton/ha varietas wilis dan 0,09 ton/ha varietas anjasmoro.

Dari pengukuran pengaruh muka air tersebut diketahui semakin dalam muka air semakin tinggi produktivitas kedelai.

Ia juga melakukan pengukuran pengaruh muka air dan lebar bedengan terharap produktivitas kedelai. Misalnya tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan (petakan) 2 m, 4m, 6m dan 8 m.

Hasil penelitian ini juga mengukur pengaruh sistem budi daya dan varietas pada musim tanam I dan II terhadap produktivitas kedelai (tong/ha).

"Hasil penelitian budidaya jenuh air ini sudah saya persentasinya dihadapan Kemenristek. Saya optimistis bila ini budi daya dilakukan melalui gerakan massal produksi kendelai lokal kita akan meningkat," katanya.

Munif menambahkan, kualitas kedelai lokal Indonesia jauh lebih bagus dari kedelai impor. Kedelai lokal memiliki jenis "nonstragenick" atau masih alami karena hanya sekali persilangan.

Untuk membuktikan keakuratan hasil penelitiannya, Prof Munif berencana akan kembali menguji coba budidaya jenuh air di lahan yang lebih luas di wilayah Sumatera Selatan.

"Tahap awal masih dilahan 2 hektar kedepan akan dicoba di lahan hingga 10 hektare," katanya.

(KR-LR)