KPK: Hukum Acara Pertanggungjawaban Pidana Korporasi diperlukan

id kpk: hukum acara

KPK: Hukum Acara Pertanggungjawaban Pidana Korporasi diperlukan

Ilustrasi (Foto dukunhukum.wordpress.com)

Jogja (Antara Jogja) - Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi Trimulyono Hendradi mengatakan perlu ada hukum acara yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.

"Selama ini belum ada hukum acara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam perkara korupsi, misalnya mekanisme penutupan perusahaan selama setahun," katanya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa.

Pada seminar "Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia", ia mengatakan hukum acara itu diperlukan karena modus tindak pidana korupsi semakin berkembang dengan memanfaatkan korporasi sebagai sarana.

"Pada awalnya tindak pidana oleh korporasi hanya dianggap sebagai kejahatan administratif, tetapi saat ini telah berkembang, sehingga perlu ada hukum acara yang mengatur mengenai hal itu," katanya.

Menurut dia, dasar hukumnya adalah Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pidana tambahan, yakni penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun.

Selain itu, Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi.

Ia mengatakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga, yang diatur dalam Pasal 20 ayat (7) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU tersebut berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, dan pidana badan bagi pengurus korporasi.

Menurut dia, kendala penyidikan atau penuntutan antara lain KUHAP mengatur dalam Pasal 143 (2) huruf a bahwa dakwaan memuat hanya identitas orang sebagai subjek hukum dan belum adanya kesamaan konsep pemahaman pertanggungjawaban pidana pada aparat penegak hukum.

Contohnya, sulitnya membuktikan hubungan yang erat antara orang yang melakukan serta keuntungan atau manfaat yang diperoleh oleh korporasi.

Hal itu disebabkan banyak korporasi yang didirikan dengan menggunakan orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan korporasi untuk duduk dalam kepengurusan korporasi misalnya kasus Nazaruddin dengan meminjam KTP petugas "cleaning service" atau sopir.

"Beberapa kasus korupsi melibatkan perusahaan BUMN misalnya kasus PON di Riau dan kasus Nazaruddin sehingga cukup sulit untuk menerapkan sanksi kepada BUMN karena berhubungan dengan penerimaan negara," katanya.

(B015)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024