Jogja (Antara Jogja) - Pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun bagi korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi perlu dilakukan hati-hati, kata hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta Eko Purwanto.
"Hal itu perlu dilakukan karena dampak putusan itu sangat luas, menyangkut banyak orang yang tidak bersalah," katanya pada seminar `Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia` di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, pidana tambahan sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu yang akan menderita tidak hanya yang berbuat salah, tetapi juga orang-orang yang tidak berdosa seperti buruh, pemegang saham, dan para konsumen.
"Jika tindak pidana yang dilakukan sangat berat, di berbagai negara dipertimbangkan untuk menerapkan pengumuman putusan hakim sebagai sanksi atas biaya korporasi. Hal itu dilakukan karena dampak yang ingin dicapai tidak hanya yang mempunyai `financial impact`, tetapi juga `non-financial impact`," katanya.
Menurut dia, perkembangan pemikiran bahwa suatu korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dilandaskan pada pemikiran abstraksi-logis merujuk pada pengalaman empiris.
Pengalaman empiris itu adalah korporasi telah digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan suatu tindak pidana atau digunakan sebagai sarana untuk menampung hasil suatu tindak pidana dan korporasi dianggap telah memperoleh keuntungan dari tindak pidana tersebut.
Dalam perkembangannya, beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia, baik yang bersifat khusus maupun dalam UU pidana administratif telah mencantumkan pengertian "setiap orang" adalah orang perseorangan atau korporasi baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
Dengan demikian, kata Eko yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam sistem hukum pidana Indonesia, korporasi secara eksplisit diakui sebagai subjek hukum pidana dan tidak ada lagi keragu-raguan mengenai hal itu.
Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, ia mengatakan, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan bidang hukum khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pidana asas kesalahan atau "asas tiada pidana tanpa kesalahan" tidak mutlak berlaku.
"Pada pandangan baru tersebut cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium `res ipsa loquitur`, fakta sudah berbicara sendiri," katanya.
(B015)
Berita Lainnya
SPBU curang, disanksi pidana, tegas Mendag
Minggu, 24 Maret 2024 7:07 Wib
Tujuh PPLN Kuala Lumpur, Malaysia, dituntut enam bulan penjara
Rabu, 20 Maret 2024 4:44 Wib
Tujuh tersangka mantan anggota PPLN Kuala Lumpur dilimpahkan ke JPU
Kamis, 7 Maret 2024 7:27 Wib
Berkas tujuh tersangka anggota PPLN Kuala Lumpur, Malaysia, dilengkapi Polri
Selasa, 5 Maret 2024 6:09 Wib
Pemegang saham BPR EDC Cash Tangerang, Banten, terlibat tindak pidana, ungkap LPS
Kamis, 29 Februari 2024 6:41 Wib
Satu eks PPLN Kuala Lumpur langgar pidana
Selasa, 27 Februari 2024 6:23 Wib
Bikin heboh, mayat wanita terkubur dalam rumah
Sabtu, 13 Januari 2024 5:30 Wib
Baca, pidana pemilu hingga pejabat KPK diadukan ke dewas
Jumat, 12 Januari 2024 10:41 Wib