Menanti penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku korupsi

id korupsi

Menanti penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku korupsi

Ilustrasi (Foto antarabengkulu.com)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Tindak pidana korupsi di Indonesia meliputi banyak aktor dan merambah ke banyak sektor, yang terdapat pada lapisan kekuasaan atas hingga lapisan bawah.

Laporan kecenderungan korupsi yang dirilis Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2012 menunjukkan bahwa aktor korupsi muncul dari kalangan pemerintah pusat dan daerah, legislatif pusat dan daerah, BUMN dan BUMD.

Selain itu, juga terlibat kepala daerah, kepala desa, kepala sekolah, Bank Indonesia, aparat penegak hukum, pegawai universitas, mantan menteri, dan anggota KPUD.

Sektor korupsi berasal dari pemilihan umum, penerimaan daerah, energi dan sumber daya mineral, kesehatan, penegakan hukum, kesejahteraan sosial, keagamaan, pertanian, keolahragaan, ketenagakerjaan, penerimaan negara, pekerjaan umum, dan perpajakan.

"Dari beberapa aktor tindak pidana korupsi, dalam faktanya ada satu aktor yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tetapi susah dijerat, yakni perusahaan atau korporasi," kata peneliti Pukat FH UGM Hifdzil Alim di Yogyakarta, Selasa (24/9).

Padahal, menurut dia pada seminar "Pemidanaan Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia", dalam beberapa kasus korupsi tampak sering melibatkan perusahaan atau korporasi.

Menurut Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Chaerul Amir, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi memang tidak mudah. Penerapan itu memerlukan komitmen penegak hukum sebagai elemen sistem peradilan pidana.

"Saat ini dukungan masyarakat sudah cukup besar untuk penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi, tinggal bagaimana membuat suatu terobosan progresif dari aparat sistem peradilan pidana. Terobosan progresif itu dapat menjadi acuan dan preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia," katanya.

KUHP Indonesia saat ini, kata dia, tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, tetapi korporasi diposisikan sebagai subjek hukum pidana dalam Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Memang sulit untuk mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu dan membuktikan unsur niat kriminal atau pikiran bersalah dari suatu entitas abstrak seperti korporasi, tetapi jika ada komitmen bersama oleh seluruh elemen sistem peradilan pidana dan didukung masyarakat tentu kendala tersebut bukan hal yang menyulitkan," katanya.



Hukum Acara

Namun demikian, jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Trimulyono Hendradi mengatakan, perlu ada hukum acara yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Hal itu penting karena selama ini belum ada hukum acara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam perkara korupsi, misalnya mekanisme penutupan perusahaan selama setahun.

Hukum acara itu diperlukan karena modus tindak pidana korupsi semakin berkembang dengan memanfaatkan korporasi sebagai sarana.

"Pada awalnya tindak pidana oleh korporasi hanya dianggap sebagai kejahatan administratif, tetapi saat ini telah berkembang, sehingga perlu ada hukum acara yang mengatur mengenai hal itu," katanya.

Menurut dia, dasar hukumnya adalah Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pidana tambahan, yakni penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun.

Selain itu, Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi.

Ia mengatakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga, yang diatur dalam Pasal 20 ayat (7) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU tersebut berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, dan pidana badan bagi pengurus korporasi.

Dalam konteks itu, penegakan hukum pidana akan lebih berkeadilan karena menjangkau pelaku-pelaku lain yang turut bertanggung jawab dalam korporasi seperti komisaris, direktur, pegawai, pihak terafiliasi, dan "holding company".

Selain itu, juga ada penjatuhan pidana tambahan yang lebih luas, pembayaran uang pengganti dan perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan pemerintah.

Namun demikian, pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun bagi korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi perlu dilakukan hati-hati.

Menurut hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta Eko Purwanto, kehati-hatian itu perlu dikedepankan karena dampak putusan tersebut sangat luas, menyangkut banyak orang yang tidak bersalah.

"Pidana tambahan sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu yang akan menderita tidak hanya yang berbuat salah, tetapi juga orang-orang yang tidak berdosa seperti buruh, pemegang saham, dan para konsumen," katanya.

Ia mengatakan, perkembangan pemikiran bahwa suatu korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dilandaskan pada pemikiran abstraksi-logis merujuk pada pengalaman empiris.

Pengalaman itu adalah korporasi telah digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan suatu tindak pidana atau digunakan sebagai sarana untuk menampung hasil suatu tindak pidana dan korporasi dianggap telah memperoleh keuntungan dari tindak pidana tersebut.

"Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi perlu diterapkan. Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi itu diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap korporasi untuk tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi," katanya.

(B015)
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024