Bupati : proses pembangunan Apartemen Uttara tidak pas

id sleman

Bupati : proses pembangunan Apartemen Uttara tidak pas

Kabupaten Sleman (Foto Istimewa)

Sleman, (Antara Jogja) - Penjabat Bupati Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Gatot Saptadi mengakui proses pembangunan apartemen Uttara Karangwuni, Caturtunggal, Depok ada yang tidak pas.

"Proses pembangunan apartemen Uttara memang ada proses yang tidak pas. Proposal awal sudah sesuai tapi di tengah jalan ternyata ada perubahan bangunan," kata Gatot Saptadi di Sleman, Senin.

Menurut dia, bila mengacu proposal awal, izin yang dibutuhkan sebenarnya hanya UKL-UPL.

"Tetapi dalam perkembangan proses pembangunan, pihak pengembang mengubah bangunan menjadi lebih luas. Di antaranya menambah tinggi bangunan dari awalnya empat menjadi enam lantai, serta memperbanyak jumlah ruangan atau kamar," katanya.

Ia mengatakan, dengan penambahan dan perubahan bentuk bangunan tersebut, izin yang dibutuhkan semestinya tidak sekadar UKL-UPL tapi juga analisa mengenai dampak lingkungan (amdal).

"Izin amdal ini merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Apartemen Uttara seharusnya tidak boleh beroperasi karena izinnya belum final. Sampai sekarang izin pengembangannya belum ke luar," katanya.

Terkait adanya gugatan yang dilayangkan warga Karangwuni ke PTUN atas penerbitan SK Kepala BLH Sleman Nomer 660.2/037.3/11/2015 tentang Izin Lingkungan PT Bukit Alam Permata untuk Kegiatan Pembangunan Apartemen Uttara, Gatot mempersilakan upaya hukum tersebut. Jika nantinya dipandang keliru oleh pengadilan, Pemkab siap mengevaluasi kebijakan tersebut.

"Kami terbuka menghadapi apapun putusan PTUN nantinya. Kami ingin mendudukkan semua sesuai regulasi yang ada," katanya.

Pada 10 Desember lalu, warga Padukuhan Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman mendaftarkan gugatan atas pembangunan Apartemen Uttara The Icon ke PTUN Yogyakarta. Warga menilai kebijakan proyek apartemen yang dibangun di Jalan Kaliurang 4,5 itu sarat rekayasa.

Warga meminta agar PTUN mencabut Surat Keterangan Kepala BLH Sleman Nomer 660.2/037.3/11/2015.

Tim advokasi LBH Yogyakarta A Wijaya mengatakan kebijakan itu ditengarai hasil rekayasa karena sampai saat ini Sleman tidak memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Sementara sesuai amdal, syarat penentuan koefisien dasar bangunan (KDB) harus berdasar pada peraturan zonasi yang tertuang dalam RDTR.

LBH juga mempertanyakan dasar BLH memberi syarat KDB maksimal 60 persen, padahal Sleman tidak mempunyai RDTR. Selain itu, tidak ada rekomendasi dari Badan Koordinasi Pengendalian Ruang Daerah.***2***

(V001)

Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024