Terdakwa korupsi minta hakim jatuhkan hukuman mati

id hukuman mati

Terdakwa korupsi minta hakim jatuhkan hukuman mati

Ilustrasi (ist)

Ambon (Antara) - Terdakwa dugaan korupsi dana blok grand pembangunan gedung SMA Negeri Toyando, Kota Tual, Aziz Fidmatan minta majelis hakim tipikor pada Kantor Pengadilan Negeri Ambon menjatuhkan hukuman mati terhadap dirinya bila terbukti bersalah.

"Kalau memang patut diberikan hukuman berat, walau pun itu hukuman mati kepada terdakwa, maka di situlah terdapat nilai-nilai keadilan hukum, karena ketika anak manusia dihadapkan dengan proses hukum maka yang diharapkan adalah buah dari keadilan dan kebenaran," kata terdakwa saat membacakaan duplik atas replik jaksa penuntut umum di pengadilan tipikor Ambon, Selasa.

Duplik terdakwa dibacakan dalam persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim tipikor, R.A Didi Ismiatun didampingi Syamsidar Nawawi dan Hery Leliantono selaku hakim anggota.

Terdakwa juga menyatakan surat dakawaan JPU dinilai salah alamat karena yang didakwa jaksa adalah Azis Fidmatan, sedangkan yang benar adalah Aziz Fidmatan, S.Sos. MSi, lahir tanggal 25 Nopember 1966, kemudian masalah nomenkklatur Kejaksaan Negeri Tual yang berkedudukan di Kota Tual dan tidak ada yang namanya Kejari Maluku Tenggara.

Kemudian terdakwa juga mengaku tidak pernah menerima surat dakwaan maupun surat replik dari jaksa penuntut umum.

Sehingga terdakwa meminta majelis hakim tipikor yang mengadili perkara tersebut membebaskannya dari segala tuntutan jaksa karena salah alamat.

Dia menjelaskan, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kota Tual dalam tahun anggaran 2008 membangun SMA di Kecamatan Toyando dan dikerjakan secara swakelola, dimana pemkot wajib menyediakan lahan dan dana sharing APBD kota sebesar 25 persen dari besaran nilai anggaran blok grand.

Yang menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) dalam proyek ini adalah mantan Kadis Dikpora Kota Tual, Akib Hanubun, Syaifuddin Nuhuyanan selaku PPTK, serta Aziz Fidmatan menjadi bendahara pengeluaran, ditambah Marthin Souhuka selaku konsultan pengawas.

Akib Tamher telah divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim tipikor, sementara Syaifuddin Nuhuyanan dan Aziz Fidmatan dituntut tiga tahun penjara oleh JPU Chrisman Sahetapy dan Steven Malioy, sedangkan Marthin Sohouka masih dalam pemeriksaan saksi di persidangan.

"Banyak kejanggalan yang terjadi dalam penanganan kasus ini seperti dana sharing Rp310 juta yang tidak pernah dicairkan Pemkot Tual tetapi panitia pembangunan tetap berusaha hingga SMA Toyando rampung dikerjakan," katanya dalam duplik yang ditulis tangan setebal 45 halaman.

Kemudian keterangan hasil pemeriksaan saksi ahli bernama Ridwan Saidi Tamher dalam persidangan atas nilai kerugian bangunan yang awalnya Rp95 juta dan dinaikkan menjadi Rp107 juta lebih tidak bisa dipertanggung jawabkan dan ditolak majelis hakim tipikor.

Aziz juga meminta mantan Kejari Tual, Acjmad Fatony, SH diproses hukum karena diduga telah melakukan pembohongan terhadap para terdakwa serta menyalahgunakan kekuasaan.

"Mantan Kajari Tual ini meminta panitia pembangunan menyelesaikan sisa pembangunan sekolah dengan catatan kasusnya tidak akan diproses ke pengadilan," akui terdakwa.

Sehingga KPK, PPK, bersama bendahara panitia pembangunan mengumpulkan uang pribadi mencapai Rp125 juta dan melanjutkan sisa pekerjaan SM Toyando.

"Namun kasus ini terus diombang-ambingkan selama tujuh tahun baru diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi pada KPN Ambon," ujar terdakwa. ***2***(D008)
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024