Memetakan zona rawan bencana baru pascasiklon Cempaka

id bpbd diy

Memetakan zona rawan bencana baru pascasiklon Cempaka

BPBD (antaranews)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta perlu memetakan zona rawan bencana baru pascabencana hidrometeorologi seperti hujan lebat, angin kencang, dan tanah longsor yang dipicu siklon tropis Cempaka selama dua hari, Selasa (28/11) hingga Rabu (29/11).

Pemetaan zona rawan bencana baru, khususnya untuk tanah longsor itu memiliki fungsi untuk memperkecil risiko bencana serupa yang mungkin muncul di masa-masa mendatang. Hasil pemetaan itu selanjutnya perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas di DIY agar proses mitigasi bisa dilakukan jauh sebelum potensi bencana muncul kembali.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meyakini telah menemukan titik-titik baru rawan bencana longsor di sejumlah kawasan perbukitan di Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, dan Sleman beberapa hari setelah peristiwa siklon tropis Cempaka itu. Titik rawan bencana yang ditemukan itu rata-rata berupa retakan-retakan yang kalau terus menerus diisi air hujan mudah longsor.

Koordinator Operasional Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY Endro Sambodo mengatakan badai Cempaka itu telah memunculkan sekitar 100 lebih titik baru rawan bencana longsor. Titik rawan bencana longsor paling dominan ada di enam kecamatan di Kabupaten Kulon Progo, yakni Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, Kokap, dan Nanggulan.

Di Gunung Kidul titik paling rawan longsor ada di Kecamatan Gedangsari, diikuti Kecamatan Imogiri di Kabupaten Bantul, dan Kecamatan Prambanan di Kabupaten Sleman. Saat ini tim BPBD DIY masih mengumpulkan data titik baru rawan bencana tersebut.

BPBD DIY sebelumnya mencatat fenomena siklon tropis Cempaka yang berlangsung selama dua hari itu mengakibatkan 114 titik bencana di lima kabupaten/kota. Bencana itu juga mengakibatkan lima korban jiwa di DIY.

Kabupaten Bantul saat itu tercatat menjadi daerah terparah dengan kondisi 67 pohon tumbang, 45 titik tanah longsor, dan 31 titik banjir. Bencana itu juga menyebabkan satu korban meninggal, tiga jembatan ambrol, yaitu dua di Kecamatan Pundong dan satu di Bangunjiwo.

Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul mengalami sembilan titik pohon tumbang, sembilan titik tanah longsor, dan banjir di 44 lokasi.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Gatot Saptadi menyebutkan total kerugian materi akibat bencana alam yang dipicu siklon tropis Cempaka di DIY mencapai Rp200 miliar.

Nilai kerusakan akibat bencana yang paling besar ada di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul. Kerusakan rata-rata meliputi talud, jalan, rumah, serta infrastruktur publik lainnya yang harus segera diperbaiki.

Rawan Longsor
Pakar Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Wilopo mengakui banyak kawasan di DIY memiliki lapisan tanah jenis porous dan tanah lempung. Kedua tanah itu rentan mengalami pergerakan atau sangat mudah longsor apabila berada di kawasan rawan dan dipicu oleh gempa, curah hujan sangat tinggi, serta faktor perbuatan manusia.

Tanah porous, menurut Wahyu, banyak ditemukan di wilayah dataran Kota Yogyakarta karena tanah merupakan endapan batuan sisa erupsi Gunung Merapi. Tanah porous umumnya merupakan tanah berpasir yang memiliki rongga atau pori-pori yang dominan.

Sedangkan tanah lempung banyak ditemukan di kawasan perbukitan yang ada di Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Sleman, khususnya Prambanan. Tanah lempung terbentuk dari hasil pelapukan batuan pegunungan. Tanah itu dinilai sebagai bidang gelincir yang bagus sehingga mudah memicu longsor.

"Kalau tanah porous hampir di semua kabupaten di DIY kami temukan, paling banyak di Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Prambanan, Sleman," kata dia.

Menurut dia, pascahujan ekstrem akibat siklon tropis Cempaka yang melanda DIY beberapa waktu lalu memang memiliki kemungkinan besar memicu retakan-retakan tanah baru.

Oleh sebab itu, Wahyu menilai upaya BPBD DIY untuk memetakan zona rawan longsor baru perlu disegerakan. Apalagi, cuaca ekstrem sangat berpotensi muncul kembali selama musim hujan yang diperkirakan memuncak pada Januari 2018.

"Hujan yang sangat ekstrem memiliki kemampuan masuk ke dalam retakan-retakan tanah yang selanjutnya mudah mendorong terjadinya longsor," kata Wahyu Wilopo.

Sebelumnya, untuk memberikan peringatan terjadinya longsor, UGM bersama BPBD DIY telah memasang "Early Warning System" (EWS) atau sistem peringatan dini tanah longsor di kawasan perbukitan seperti di Kecamatan Prambanan, Sleman.

Dua unit perangkat EWS atau peringatan dini tersebut dipasang di Dusun Gunungharjo, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan.

Perangkat EWS tersebut dipasang di lokasi yang berada di lereng perbukitan Prambanan dengan kecuraman lebih dari 70 derajat sehingga sangat rawan longsor, terutama pada musim hujan.

Wahyu mengatakan selain mengandalkan EWS, masyarakat dapat membuat sistem peringatan dini secara tradisional. Saat ditemukan retakan di lingkungan masing-masing, masyarakat perlu mengukur lebar garis retakan secara berkala. Aktivitas siskamling juga perlu digencarkan sekaligus untuk memantau titik retakan tanah.

"Jika retakan tanah terus mengalami pergerakan apalagi terjadi hujan berkepanjangan diharapkan masyarakat segera mengungsi," kata dia.

Cuaca Ekstrem
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta memperkirakan puncak musim hujan di DIY akan terjadi pada Januari 2018.

Kepala Kelompok Data dan Informasi Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Djoko Budiono mengatakan untuk musim hujan saat ini kecepatan angin maksimum di DIY bisa mencapai 30 km per jam dengan suhu udara berkisar 21-32 C dengan kelembaban antara 70-95 persen.

Sedangkan saat puncak musim hujan pada Januari 2018 curah hujan dapat mencapai lebih dari 50 mm per hari atau 400 mm hingga 550 mm per bulan.

Sebelumnya, menjelang terjadi siklon tropis Cempaka, kata dia, tercatat di wilayah Kabupaten Sleman dan Kulon Progo bagian utara hujan rata-rata per dasarian mencapai kategori tinggi yakni 150-250 mm per dasarian sedangkan Bantul bagian utara dan Kota Yogyakarta berkisar 100-200 mm, terakhir Gunung Kidul sekitar 75-150 mm per dasarian.

Periode akhir Desember 2017 hingga awal Januari 2018 adalah periode menguatnya pola angin baratan yang membawa dampak pada peningkatan hujan serta tinggi gelombang di perairan laut selatan.

Selain itu, menurut Djoko, suplai massa udara lembab dari Samudera Pasifik dan daratan Asia serta dari Samudera Hindia yang terakumulasi di wilayah kepulauan Indonesia memicu penyebab tingginya potensi hujan lebat di beberapa wilayah bagian di Indonesia termasuk di Yogyakarta.

(T.L007)
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024