Masyarakat Yogyakarta prihatin insiden terbakarnya fasilitas mushala

id garis polisi

Masyarakat Yogyakarta prihatin insiden terbakarnya fasilitas mushala

Ilustrasi garis polisi di TKP (antaranews.com)

Bantul (Antaranews Jogja) - Gerakan Masyarakat Yogyakarta Melawan Intoleransi atau Gemayomi prihatin atas insiden terbakarnya beberapa fasilitas ibadah di Mushala Fatturahman, Desa Jambidan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Koordinator Gemayomi Mukhtasar Syamsuddin di Bantul, Jumat, mengatakan, bentuk keprihatinan itu diwujudkan dengan memberikan bantuan fasilitas ibadah, termasuk mengganti semua sajadah yang telah rusak karena terbakar.

"Kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai salah satu bentuk nyata dari komitmen Gemayomi dengan mendukung upaya berbagai pihak, khususnya pemda dalam menciptakan suasana hidup masyarakat yang aman dan damai," katanya disela kegiatan.

Menurut dia, sebelum memberikan bantuan fasilitas direncanakan ada kerja bakti membersihkan mushala bersama masyarakat setempat, namun karena di pintu masuk mushala dipasang garis polisi, maka tidak dilakukan.

Ia mengatakan, selain itu melalui kegiatan tersebut Gemayomi mengajak masyarakat untuk bergerak dan berpartisipasi aktif dalam mendukung upaya menciptakan suasana Yogyakarta yang penuh dengan toleransi.

Gemayomi sangat mendukung dan siap mengawal langkah-langkah yang ditempuh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan insiden terbakarnya fasilitas mushala termasuk kasus-kasus kekerasan yang terjadi di wilayah Yogyakarta.

"Dan mengantisipasi semua tindakan yang berpotensi merusak tatanan hidup masyarakat di Yogyakarta sebagai `The city of tolerance`," katanya.

Di wilayah Dusun Kepanjen, Desa Jambidan, Bantul, dilaporkan telah terjadi dugaan pembakaran karpet di Mushala Fatturahman dan gazebo di halaman TPA Fakhturahman oleh orang tak dikenal pada Minggu (11/3) malam.

Sementara itu, Mukhtasar mengatakan, Gamayomi merupakan organisasi pergerakan yang didirikan secara kolektif oleh 36 elemen organisasi kemasyarakatan (ormas) di DIY pada 11 Februari 2018 atau beberapa waktu setelah insiden penyerangan di gereja Santa Lidwina Kabupaten Sleman.

Ia mengatakan, visi yang menggerakkan organisasi ini adalah membangun toleransi melalui praksis pembebasan masyarakat dari tindakan kekerasan, intimidasi dan diskriminasi.

"Juga berbagai bentuk tindakan intoleran yang menghalangi upaya masyarakat dalam memenuhi hak hidup yang aman dan damai dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing," katanya.
 
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024