Hugelkultur alternatif pembukaan lahan pertanian

id lahan gambut

Hugelkultur alternatif pembukaan lahan pertanian

Ilustrasi (Foto Antara)

Jakarta (Antaranews Jogja) - Hugelkultur menjadi pilihan yang ditawarkan Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) sebagai alternatif untuk menyiapkan lahan pertanian tanpa bakar.

        "Tidak ada alasan lagi petani sulit menyiapkan lahan tanpa bakar," kata Kepala Sekolah Lapang Petani Gambut, Provinsi Sumsel, Syamsul Asinar Radjam, di Jakarta, Sabtu.

        Menurut Syamsul, Hugelkultur yang ditawarkan INAgri sudah diterima dan disambut baik oleh Badan Restorasi Gambut (BRG).

        Bahkan BRG sudah menjadikan Hugelkultur sebagai materi di kurikulum sekolah lapang.

        Sekolah lapang yang pertama dibuka di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan.

        "Proses belajar dipandu para praktisi agroekologi dari INAgri," katanya.

        Ia mengatakan, prinsip penyiapan lahan tanpa bakar adalah memanfaatkan sebanyak mungkin biomassa tumbuhan di lahan yang akan dikelola sebagai lahan budidaya.

        "Kita kumpulkan mulai dari batang kayu, dahan, ranting, daun, hingga hasil penyiangan gulma dan limbah hasil pertanian," kata Syamsul.

        Limbah hasil pertanian seperti jerami, batang jagung, bonggol pisang, dan sekam pun kata dia menjadi bermanfaat.

        Menurut Syamsul, prinsip berikutnya yang diterapkan adalah pengolahan tanah minimum dan minimum bahan kimia sintetis.

        Sementara menurut peneliti Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Destika Cahyana, SP. MSc, istilah dan model hugelkultur diadopsi dari Jerman tetapi dapat diadopsi dengan beberapa penyesuaian kondisi lokal.

        "Hugel artinya gundukan. Pada konteks tertentu mirip pada pembuatan tukungan dan surjan oleh petani rawa di Kalimantan Selatan," kata Destika.

        Salah satu peserta sekolah lapang Abdul Kadir dari Desa Gilirang mengatakan teknik tersebut juga mirip teknik staking yang mereka lakukan di atas lahan mereka.

        Menurut Syamsul, di Indonesia teknik ini juga mirip praktik puntal sebar yang dilakukan petani rawa dan gambut di Kalimantan Selatan dan sistem ngagulik ala masyarakat Jawa Barat.

        "Intinya bahan organik tidak dianggap pengganggu, melainkan bahan penyubur yang dapat dikomposkan di atas lahan," kata Syamsul.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024