Keadilan masih langka di era reformasi

id hakim

Keadilan masih langka di era reformasi

Ilustrasi (istimewa)

Jakarta (Antaranews Jogja) - Orde Reformasi sebagai pengganti Orde Bbaru memang sudah berjalan 20 tahun, tetapi bidang hukum belum mampu mewujudkan keadilan lantaran para praktisi hukum, khususnya para hakim di pengadilan masih bersikap koruptif.  
  
Sebagian masyarakat luas masih menilai sulit mencari keadilan khususnya di pengadilan karena para hakim belum dapat meninggalkan sikap koruptif-nya, sehingga banyak putusan yang disampaikannya tidak kredibel atau terkesan kurang mempunyai landasan hukum, kata Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI), Dr Laksanto Utomo.

Hal itu dikemukakan Laksanto Utomo usai menyerahkan hasil eksaminasi Putusan Pengadilan Tinggi DKI,kepada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jakarta, Selasa.

Reformasi mental belum dapat diwujudkan dalam kurun waktu 20 tahun, karena ketika rakyat dan para pemimpinnya melaksanakan perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, tidak disiapkan dulu dasar-dasarnya secara baik, sehingga pelaksanaan hukum justru tambah "amburadul" dibanding saat Orde Baru dulu, kata pakar hukum Laksanto.

Menurut Laksanto, APPTHI menyerahkan dokumen hasil eksaminasi atas putusan  perkara  Nomor 67/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST dan Putusan Perkara  Nomor 01/PID/TPK/2016/PT.DKI ke Wantimpres, agar dapat disampaikan kepada Presiden Joko Widodo bahwa masyarakat luas masih menilai sulit mencari keadilan meskipun reformasi sudah berjalan lebih dari dua windu.

"APPTHI sebagai wadah pimpinan perguruan tinggi hukum se-Indonesia berkomitmen mengawal proses penegakan hukum dan keadilan yang dipandang tidak berimbang, tidak adil, dan tidak profesional oleh penegak hukum.

"Kondisi ini tentu saja memprihatinkan karena betapa sulitnya memperoleh keadilan di Indonesia sebagai negara hukum," kata Laksanto.

Laksanto yang didampingi Ketua Dewan Pembina APPTHI, Prof Dr Faisal Santiago menambahkan, komitmen APPTHI untuk mengawal proses penegakan hukum itu, antara lain diwujudkan dengan melakukan kegiatan eksaminasi atas putusan pengadilan yang menjadi sorotan masyarakat dan dipandang tidak adil, juga mencederai proses penegakan hukum dan keadilan.

Oleh sebab itu, APPTHI  berkepentingan untuk menjalin komunikasi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara terkait, termasuk Dewan Pertimbangan Presiden RI. Sebab, posisi Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana diatur  Pasal 16 UUD 1945, Jo.  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, bertugas antara lain memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, termasuk terkait pembangunan hukum nasional.

    
Putusan gregetan 

Dalam pertemuan itu, salah satu hasil eksaminasi yang diberikan adalah hasil putusan Perkara mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Berdasarkan catatan hukum dari Majelis Eksaminasi yang dibentuk APPTHI atas Putusan Perkara mantan Gubernur Papua, dinilai sebagai putusan "gregetan" karena dalam menyampaikan pertimbangannya tidak mempunyai landasan hukum yang jelas dan terstruktur.

"Hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa tidak ada parameter yang jelas," kata Laksanto, seraya menambahkan, hakim kurang menggali keadaan pribadi yang diperoleh dari keterangan orang-orang di lingkungannya, informasi tentang faktor nonyuridis seperti usia, dan prestasi selama dua periode sebagai Gubernur.

Sementara itu Faisal menambahkan,  dakwaan yang bersifat alternatif, diajukan beberapa pasal sebagai dakwaan. Tetapi hanya satu pasal yang diteruskan menjadi tuntutan. Ada pun Pasal yang didakwakan adalah Pasal 2 dan Pasal 3, sedangkan ada perbedaan "adresat" pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut ditujukan terhadap seseorang yang memiliki perberbedaan status hukum ketika tindak pidana korupsi itu dilakukan antara kedua pasal tersebut.

Pasal 3 ditujukan untuk mereka yang tergolong pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2, sedangkan ketentuan Pasal 2 diperuntukkan bagi mereka yang tergolong bukan pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3. Oleh karena itu penggunaan Pasal 2 kurang tepat ditujukan kepada terdakwa, karena dia bukan sebagai pegawai negeri, kata Faisal.

Ia mengingatkan kepada para hakim PN untuk tidak memakai pertimbangan hukum atas dasar opini politik, opini publik yang cenderung berperan tinggi dalam putusan yang dieksaminasi, tetapi tetaplah harus dibuktikan agar tidak hanya didasarkan dengan prasangka.

Dalam Putusan Pengadilan Tinggi, majelis hakim telah menerapkan pertimbangan dengan prasangka dan bukan berbasiskan bukti tentang hubungan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa  dengan organisasi atau kelompok yang menuntut kemerdekaan Papua.

Pimpinan Wantimpres, Prof Dr Sri Adiningsih yang didampingi staf khusus, Dr Maria Lokollo mengatakan, tugas Wantimpres adalah tidak bisa mengeksekusi suatu putusan, tetapi sifatnya hanya menyampaikan rekomendasi terhadap suatu isu di masyarakat.

"Kita hanya dapat memberikan rekomendasi atas respon yang ada di masyarakat, dalam kaitan ini terkait mekanisme hukum yang belum berjalan sesuai yang diharakan meskipun reformasi sudah berjalan 20 tahun," kata Sri, seraya menambahkan, Watimpres itu dilarang memberi janji, tetapi wajib menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Presiden.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024