Jakarta (Antaranews Jogja) - Pakar hukum tata negara Mahfud MD menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap menjadi lembaga khusus terkait rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Kalau saya menyampaikan RKUHP itu sebaiknya KPK itu tetap menjadi satu lembaga pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang khusus," kata Mahfud seusai menghadiri acara "Silaturahmi Bersama Insan KPK dan Alumni" di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin.
Mahfud menyatakan bahwa memang Indonesia harus mempunyai satu hukum pidana yang terkodifikasi.
"Kan ambisinya itu kita harus punya satu hukum pidana yang terkodifikasi, terkodifikasi dalam artian terbukukan dalam satu kitab. Nah itu teorinya memang bagus sehingga semua tindak pidana itu masuk," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Namun, kata Mahfud, dalam praktiknya tidak bisa dilakukan dikarenakan kebutuhan hukum yang selalu berkembang.
"Tetapi dalam praktik di mana-mana tidak bisa, karena apa? Kebutuhan hukum itu selalu berkembang, pasti ada yang di luarnya yang harus selalu direspons sehingga hukum itu harus responsif terhadap perkembangan masyarakat," kata Mahfud.
Ia menyatakan bahwa tindak pidana korupsi itu perlu diberi wewenang khusus.
Dia mengatakan, perlu diberi wewenang khusus dan itu bagian dari politik hukum nasional.
"Jangan dikatakan politik hukum nasional itu harus kodifikasi, tidak tetapi tetap harus ada hukum khusus yang memang merupakan wadah untuk memberikan 'treatment' khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu. Itu aspirasi yang saya sampaikan dan mungkin ada kesamaan dengan KPK," ujarnya.
Ia mengharapkan keberadaan KPK harus tetap ada karena efektif melaksanakan tugasnya dalam pemberantasan korupsi.
"Pokoknya KPK jangan sampai mati, dan keberadaan KPK itu sama sekali tidak melanggar politik hukum, tidak melanggar konstitusi. Yang penting kalau ada kritik-kritik jadikan perbaikan ke depan tetapi lembaga ini ternyata terbukti sangat efektif melaksanakan tugasnya di tengah keterbatasannya," kata dia.
Sebelumnya Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa DPR akan menyetujui untuk disahkannya RUU KUHP pada 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Indonesia.
KPK mengatakan setidaknya ada 10 hal mengapa RKUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi yaitu (1) Kewenangan kelembagaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP, (2) KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) seperti untuk menangani korupsi sektor swasta, (3) RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti.
Selanjutnya (4) RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, (5) RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi, (6) Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi Tindak Pidana Umum.
Kemudian (7) UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi, (8) Kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab Undang-undang, (9) Terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi, (10) Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.
(B020) 25-06-2018 14:38:18
Berita Lainnya
Nilai pencucian uang mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Rp20 miliar
Senin, 22 April 2024 14:26 Wib
Keluarga SYL akan diperiksa soal penyidikan pencucian uang
Sabtu, 20 April 2024 21:04 Wib
Nilai pencucian uang Eko Darmanto tembus Rp20 miliar
Sabtu, 20 April 2024 6:02 Wib
Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto segera disidang
Selasa, 16 April 2024 18:07 Wib
Bupati Sidoarjo, Jatim, Ahmad Muhdlor ditetapkan tersangka korupsi
Selasa, 16 April 2024 13:04 Wib
KPK menerbitkan surat penyidikan baru Eddy Hiariej
Sabtu, 6 April 2024 9:17 Wib
KPK melakukan supervisi ke Pemkab Sleman
Selasa, 2 April 2024 20:27 Wib
KPK: Caleg terpilih wajib melaporkan LHKPN
Sabtu, 30 Maret 2024 6:39 Wib