Jakarta (Antaranews Jogja) - Kalangan pakar pertanian mengungkapkan pentingnya tanaman bioteknologi atau hasil rekayasa genetika untuk mengatasi sejumlah persoalan yang dihadapi sektor pertanian di tanah air.
Guru besar ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Parulian Hutagaol di Bogor, Senin mengatakan, salah satu permasalahan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi pangan di tanah air yakni semakin menyusutnya lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa.
Padahal, tambahnya, Pulau Jawa menyumbang 60 persen produksi pertanian secara nasional, namun setiap tahun sekitar 100 ribu hektar lahan pertanian beralih fungsi ke non pertanian.
Menurutnya, tanpa dukungan teknologi pertanian yang lebih maju, Indonesia perlu tambahan sawah sebanyak 1,5 juta ha untuk memenuhi kebutuhan beras nasional tanpa impor.
"Ekstensifikasi hampir tidak mungkin dilakukan di Jawa, sedangkan di luar Jawa biayanya mahal. Jalannya melalui intensifikasi dan dilakukan dengan memasukkan bioteknologi," ujarnya pada seminar "Status Global Komersialisasi Tanaman Biotek 2017".
Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang bioteknologi dan potensi tersebut harus dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial ekonomi nasional utamanya untuk penyediaan pangan murah bagi masyarakat yang semakin meningkat.
"Untuk petani, benih biotek ini penting dan harus diberikan kesempatan yang sama untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan yang tinggi. Dibandingkan kita harus membeli produk pangan bioteknologi yang sebenarnya bisa diproduksi dalam negeri," ujarnya.
Mengenai dampak tanaman bioteknologi, Prof Parulian menambahkan hingga sekarang tidak ada laporan dampak lingkungan maupun dampak budaya yang serius yang terjadi akibat dari diberlakukannya bioteknologi di seluruh dunia.
Direktur IndoBIC, Bambang Purwantara di Bogor, Senin menuturkan sudah saatnya petani diberikan pilihan benih yang menguntungkan bagi usaha tani mereka, salah satunya dengan tanaman bioteknologi.
"Jangan sampain bangsa ini terkuras devisanya untuk membeli produk pangan biotek dan menguntungkan petani di luar negeri. Petani Indonesia harus diberi kesempatan yang sama untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan yang tinggi," katanya.
Dia mengungkapkan untuk bisa merilis tanaman maupun benih hasil bioteknologi bukanlah perjalanan yang mudah karena harus diatur secara ketat, kurang lebih satu produk bisa mencapai 4-5 tahun dahulu sebelum dirilis.
Setiap produk bioteknologi yang akan dirilis harus melewati Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKH-PRG) setelah dinilai keamanan pangan, pakan, lingkungan maupun etika.
Namun, bukan berarti Indonesia diam di tempat saja dalam komoditi bioteknologi sebab lembaga-lembaga riset bioteknologi kini semakin banyak yang membuat komoditi bioteknologi.
Ketua Dewan Direksi The International Service For the Aquisition of Agri-Biotech Applicatuin (ISAAA), Paul S. Teng menyatakan, permasalahan pertanian tidak hanya dialami petani di Indonesia, tantangan yang sama juga dialami oleh petani dunia, namun dengan inovasi berupa bioteknologi, perbaikan kondisi sosial dan ekonomi bisa dirasakan langsung oleh mereka.
"Tanaman bioteknologi menawarkan manfaat yang besar bagi lingkungan, kesehatan manusia dan hewan serta berkontribusi dalam perbaikan sosial ekonomi petani dan masyarakat," katanya.
Dia mencontohkan beberapa produk maupun tanaman biotek yang kini sudah ditanam maupun dikonsumsi di beberapa negara mulai dari apel dan kentang yang tahan kerusakan (cokelat), nanas super manis dan diperkaya antosianin, jagung dan tongkol jagung beramilosa tinggi, kedelai yang dimodifikasi kandungan minyak, hingga tanaman tebu tahan serangga organisme pengganggu tanaman (OPT).
Negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, Brazil, Bolivia, Sudan, Meksiko, Kolombia, Vietnam, Hinduras dan Bangladesh sudah mengadopsi bahkan meningkatkan areal pertanaman dari komoditas biotek ini. Tercatat, sudah ada 53 persen dari total areal pertanaman biotek dari seluruh negara berkembang dari luasan seluruh dunia.
Mengutip hasil dari studi PG Economicsi, tanaman bioteknologi bisa menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar 186,1 milyar dolar AS bagi 17 juta petani di seluruh dunia, dan banyak pelaku utamanya adalah petani kecil .
Tanaman Bioteknologi juga bisa menjadi solusi dalam menghadapi kerawanan pangan yang menjadi permasalahan besar di negara berkembang.
Selama 21 tahun, tanaman bioteknologi berperan pada peningkatan produksi dunia sebesar 213 juta ton kedelai, 446 juta ton jagung, dan 11,6 juta ton kanola.
Oleh karena itu, menurut Paul, dengan adanya bioteknologi memungkinkan petani untuk menanam lebih banyak tanpa menggunakan lahan tambahan, mengurangi tekanan pada lahan yang biasanya tinggi untuk menjadi produk pertanian.
"Indonesia sebenarnya punya potensi kuat untuk pengembangan bioteknologi. Saya berharap Indonesia bisa menikmati komersialisasi dari tanaman bioteknologi serta keuntungan petani," katanya.
Berita Lainnya
Kementan: Listrik masuk sawah untuk optimalkan pompanisasi
Senin, 15 April 2024 6:14 Wib
Tangani efek El Nino, pemerintah intensifkan pompanisasi
Kamis, 11 April 2024 14:03 Wib
Dinas Pertanian Kulon Progo awasi pangan asal hewan di Pasar Bendungan
Senin, 8 April 2024 16:22 Wib
Pengamat UGM: Pekerjaan di sektor pertanian perlu perhatian lebih besar
Jumat, 5 April 2024 22:49 Wib
Dinas Pertanian Gunungkidul beri bantuan alat pertanian pada petani
Senin, 1 April 2024 13:16 Wib
Alokasi pupuk Rp54 triliun mewujudkan swasembada pangan RI
Minggu, 31 Maret 2024 5:53 Wib
Memanfaatkan Sungai Winongo kecil, Bantul, DIY, untuk pertanian ekonomi pariwisata
Sabtu, 30 Maret 2024 22:25 Wib
Dinas Pertanian Gunungkidul mencatat luas panen padi 12.209 hektare
Jumat, 29 Maret 2024 22:48 Wib