Penanganan Anthony Ginting saat kram kurang tepat

id dokter

Penanganan Anthony Ginting saat kram kurang tepat

Ilustrasi (Foto antaranews.com)

Jakarta (Antaranews Jogja) - Pebulu tangkis Indonesia Anthony Sinisuka Ginting mengalami kram kaki saat turun di partai final bulu tangkis beregu putra Asian Games 2018, Rabu (22/8), menghadapi pemain tunggal putra China Shi Yuqi.

Ginting, demikian ia akrab disapa, harus melakoni tiga gim. Pada gim ketiga, Ginting sempat tertinggal 3-6, pelan-pelan ia menyusul dan kedudukan kembali imbang 9-9, bahkan kemudian memimpin 11-10 pada interval gim ketiga.

Saat unggul 16-12, Ginting nyaris tersusul oleh Shi, hingga kedudukan menjadi 16-15. Ginting kemudian berhenti sejenak di pinggir lapangan untuk meminta pertolongan.

Tim medis menyemprotkan cairan penahan rasa sakit di paha kirinya.

Ginting lalu melanjutkan pertandingan dengan kondisi sambil menahan sakit. Pada kedudukan 18-18, Ginting mendapat kartu kuning karena dinilai menunda jalannya permainan.

Saat itu, Ginting sudah kesulitan berjalan. Tidak menyerah meskipun dalam kondisi kesakitan, Ginting sempat menahan skor 20-20. Ginting akhirnya memutuskan mundur karena rasa sakit yang dialami Ginting semakin menguat hingga tidak kuat berdiri.  

Usai pertandingan, PP PBSI memastikan Ginting mengalami kram kaki. Sekretaris Jenderal PP Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Achmad Budiharto usai pertandingan mengatakan Ginting sudah merasakan sakit di kakinya sejak pertengahan gim ketiga.

"Rasa sakit akibat kram dirasakan paling kuat di betis. Apalagi, Ginting juga mengalami dehidrasi sehingga tarikan kram semakin kuat," katanya.

Lalu apakah penanganan pertama saat Ginting mengalami kram kaki sudah tepat?

Dalam sebuah video unggahan Halo Medifit, seorang bernama Winardi Diding melakukan analisis dengan dr Veranika Darmidy, Sp.KO.

Winardi yang dipanggil coach oleh dokter Veranika bertanya soal penanganan kram otot yang dialami Anthony Ginting.

"Kalau menurut analisa saya cedera yang dialami Ginting itu merupakan kram otot. Tidak ada trauma, tidak ada keseleo, dan ini terjadi di gim ketiga, reli cukup panjang, pasti dia capek dan kewalahan. Dan, sudah ada muscle fatigue (kelelahan otot). Itu masuknya ke muscle cramps," ujar dr Veranika Darmidy, Sp.KO.

Winardi kemudian bertanya apakah penanganan tim medis sudah tepat dengan menyemprotkan sesuatu di betis kaki kiri Ginting?

"Saya juga lihat sih itu. Jadi, sangat disayangkan sih. Harusnya kalau didiagnosis dari tim medis itu suatu kram otot, terapi yang dipilih jangan terapi dingin. Jadi, penyemprotan terapi dingin dengan chlor ethyl spray itu tindakan yang tidak tepat," paparnya.

Karena sifatnya dingin, lanjutnya, jadi terasa seperti mati rasa. Karena itu, Ginting masih bisa bangun dan masih bisa main untuk beberapa waktu. Kemudian terjadi serangan kedua karena efek mati rasanya sudah habis.

Dokter Veranika mengatakan serangan kram otot kedua biasanya terasa lebih berat. Ia pun menyayangkan tindakan terapi dingin yang dilakukan oleh tim medis.

"Seharusnya bila kita sudah tahu itu kram otot yang harus dilakukan simpel kok, coach. Kalau kram otot kan itu dia (otot) memendek ya. Ototnya berkontraksi secara involunter, tidak bisa dicegah otot," ujarnya.

Menurut dia, kalau disemprotkan sesuatu yang sifatnya dingin, otot ini akan terus berkontraksi, dia tidak mau melepas, yang harus dilakukan justru terapi panas.

Menurut dia, yang harus dilakukan saat terjadi kram otot adalah meregangkan ototnya dengan melakukan stretching.

"Lalu kita kasih pijat, untuk menciptkan heat panas. Kita juga bisa tambahkan sesuatu yang hangat sifatnya, supaya peredaran darahnya lancar. Jadi rileks ototnya. Itu harusnya penanganan kram otot seperti itu," tuturnya.

Ia pun memberi edukasi bahwa penanganan terhadap cedera ada dua cara terapi, yakni yang bersifat dingin dan bersifat panas.

"Kapan pakai terapi dingin dan terapi panas itu ada rambu-rambunya. Enggak boleh setiap cedera langsung main semprot. Kalau salah itu berakibat fatal," katanya.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024