Citrus-UGM dorong penerbitan Perppu Spektrum Frekuensi

id spektrum frekuensi

Citrus-UGM dorong penerbitan Perppu Spektrum Frekuensi

Ketua Center for Indonesia Telecommunication Regulation Studi (Citrus) Asmiati Rasyid berbicara dalam Seminar Nasional tentang Pengelolaan Spektrum Frekuensi di University Club, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa. (ANTARA FOTO/Luqman Hakim)

Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Center for Indonesia Telecommunication Regulation Studi (Citrus) bersama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mendorong penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Spektrum Frekuensi untuk menata kembali pengelolaan spektrum frekuensi di Indonesia.
    
"Perppu itu mendesak karena hingga saat ini Indonesia belum mengatur dasar kebijakan spektrum frekuensi atau belum memiliki Undang-Undang Spektrum Frekuensi," kata Ketua Citrus Asmiati Rasyid dalam Seminar Nasional dengan tema  "Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Spektrum Frekuensi Radio Sebagai Guideline Pembentukan UU Spektrum Frekuensi Nasional di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu.
    
Menurut dia, Undang-Undang (UU) Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 yang ada saat ini tidak mampu menjamin atau mengatur alokasi penggunaan spektrum serta pengelolaan spektrum lintas kementrian.
    
"Yang terpenting dalam Perppu itu nanti akan menaungi pembentukan Badan Spektrum Frekuensi Nasional sehingga audit penggunaan frekuensi bisa langsung dilakukan," kata Asmiati.
     
Menurut Asmiati, jika Perppu itu bisa diterbitkan, Badan Spektrum Frekuensi Nasional akan berfungsi sebagai institusi pengelola spektrum frekuensi lintas sektoral, yang dipimpin oleh orang yang berkompeten dan jujur yang posisinya di bawah Presiden langsung.
     
"Sehingga apabila ada frekuensi yang belum terpakai atau digunakan secara tidak semestinya ini nanti bisa langsung diaudit dan direalokasi," kata dia.
      
Audit penggunaan alokasi spektrum frekuensi, kata dia, perlu segera dilakukan untuk mengetahui berapa persen yang sudah dialokasikan mulai dari alokasi untuk Pertahanan dan Keamanan Nasional (Hankamnas), alokasi untuk layanan publik komersial, maupun layanan publik non-komersial.
    
"Mengingat ketersediaan spektrum frekuensi sudah praktis habis, maka audit penggunaan alokasi spektrum frekuensi <10GHz perlu segera dilakukan," kata dia.
     
Apabila dikelola secara professional, menurut dia, spektrum frekuensi sebagai aset bangsa berpotensi menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan untuk kesejahteraan negara.
     
Ia menyebutkan selama 10 tahun sejak 2006-2016, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) spektrum frekuensi dari sektor telekomunikasi hanya sekitar Rp100 Triliun.
     
Pendapatan itu, menurut dia, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan India yang dalam 5 tahun PNBP dari hasil lelang spektrum mencapai lebih dari Rp900 Triliun. "Itu pun belum termasuk 'annual-fee' yang dikenakan berdasarkan pendapatan kotor setiap operator," kata dia.
     
Senada dengan Asmiati, Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM Any Andjarwati menilai upaya mendorong pembentukan Perppu Spektrum Frekuensi didasari pada kepercayaan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo mengenai pengelolaan spektrum frekuensi secara profesional.
     
"Karena spektrum frekuensi ini juga berkaitan dengan pertahanan dan keamanan (hankam), maka Perppu ini tidak bisa menunggu lagi karena berkaitan dengan kedaulatan bangsa," kata dia.