KPK koordinasi dengan POMAL penanganan kasus suap Bakamla 2006

id KPK, KOORDINASI, POMAL, TNI, KASUS, BAKAMLA, MERIAL ESA, ERWIN SYA'AF ARIEF

KPK koordinasi dengan POMAL penanganan kasus suap Bakamla 2006

Juru Bicara KPK Febri Diansyah. (Antara/Benardy Ferdiansyah)

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dengan pihak Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL) terkait penanganan perkara kasus suap pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P Tahun Anggaran 2016 untuk Bakamla RI.

"Hari ini, kami melakukan koordinasi dengan pihak POMAL karena POM yang memiliki kewenangan untuk menangani jika ada pelaku dari kalangan militer khususnya dari Angkatan Laut terkait dengan perkara ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Febri menyatakan bahwa koordinasi dengan POMAL sebelumnya juga telah dilakukan beberapa waktu lalu setelah terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus tersebut.

"Koordinasi sebenarnya sudah kami lakukan juga setelah OTT dilakukan beberapa waktu yang lalu dan pihak POMAL juga sudah menangani pelaku yang dari militer. Kami terus mengkoordinasikan hal ini," ucap Febri.

Adapun pelaku dari militer yang dimaksud adalah Laksma TNI Bambang Udoyo saat itu yang telah divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Militer.

Sementara dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Kamis memeriksa Managing Director PT Rohde and Schwarz Erwin Sya'af Arief (EA) yang merupakan tersangka dalam kasus tersebut.

Erwin diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka dan juga saksi untuk tersangka korporasi PT Merial Esa.

"EA ini diperiksa sebagai saksi untuk tersangka korporasinya dan juga diagendakan pemeriksaan sebagai tersangka. Penyidik mendalami pengakuan dari saksi tentang transaksi barang untuk proyek "satellite monitoring" di Bakamla," ucap Febri.

Erwin diduga secara bersama-sama atau membantu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait proses pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P TA 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.

Atas perbuatannya tersebut, Erwin disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP.

KPK mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, barang elektronik, dan fakta persidangan bahwa Erwin diduga membantu Fahmi Darmawansah selaku Direktur PT Merial Esa memberikan suap kepada Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR RI periode 2014-2019.

Erwin diduga bertindak sebagai perantara antara Fahmi dan Fayakhun dengan mengirimkan rekening yang digunakan untuk menerima suap dan mengirimkan bukti transfer dari Fahmi ke Fayakhun.

Jumlah uang suap yang diduga diterima Fayakhun dari Fahmi sebesar 911.480 dolar Singapura atau sekitar Rp12 miliar yang dikirim secara bertahap sebanyak empat kali melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, China.

Uang suap tersebut diduga diberikan sebagai "fee" atas penambahan anggaran untuk Bakamla RI pada APBN-P 2016 sebesar Rp1,5 triliun. Peran Fayakhun adalah mengawal agar pengusulan APBN-P Bakamla RI disetujui oleh DPR RI.

Diduga, kepentingan Erwin membantu adalah apabila dana APBN-P 2016 untuk Bakamla RI disetujui, maka akan ada yang dianggarkan untuk pengadaan satelit monitoring yang akan dibeli dari PT Rohde & Schwarz Indonesia di mana Erwin selaku Managing Director.

Baca juga: KPK eksekusi dua terpidana kasus suap proyek Pemkot Pasuruan