Indonesia mengantisipasi dampak perang dagang AS-China

id perang dagang AS vs China,deputi gubernur bank indonesia,diskusi di Unej

Indonesia mengantisipasi dampak perang dagang AS-China

Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng (kiri) menjelaskan prospek dan bauran kebijakan BI, didampingi Dekan FEB Unej M Miqdad, dalam diskusi terarah, di Gedung Rektorat Universitas Jember, Jumat (28/6/2019) sore. (ANTARA/Dok. Humas Unej)

Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng mengatakan Indonesia perlu mengantisipasi perang dagang yang terjadi antara dua kekuatan ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat dengan China, karena perang dagang kedua negara ini mempengaruhi kondisi ekonomi dunia.

"Dampaknya bagi negara-negara di dunia adalah penurunan volume perdagangan dunia secara umum," katanya, saat diskusi terarah dengan para akademisi, di Gedung Rektorat Universitas Jember, Jawa Timur, Jumat sore.

Menurutnya, hal itu dibuktikan dengan menurun pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat ekonomi dunia, seperti kawasan Eropa dan Asia, serta di dua negara Amerika Serikat dan China sendiri.

"Imbasnya lagi, banyak harga komoditas global yang menjadi andalan Indonesia seperti minyak sawit (CPO), batu bara, tembaga dan lainnya harganya turun, hanya harga karet dan timah saja yang naik," katanya pula.

Ia menjelaskan perang dagang yang berkelanjutan itu akan menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang merugikan semua pihak, sehingga salah satu langkah antisipasi yang diambil di antaranya memperkuat industri manufaktur di dalam negeri.

"Meski demikian, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China juga berarti membuka kesempatan bagi Indonesia," ujar Deputi Gubernur BI yang pernah menjadi Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York itu pula.

Sugeng mengatakan ada komoditas yang biasanya diekspor oleh China ke Amerika Serikat yang kini dilarang oleh Amerika Serikat dan sebaliknya, sehingga kesempatan seperti itu yang harus direbut, dan belum lagi dengan potensi dana yang masuk ke Indonesia karena investor tidak nyaman dengan kondisi perang dagang baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun China.

"Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, juga membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS relatif aman," katanya lagi.


Data Bank Indonesia tercatat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari awal Juni hingga 21 Juni 2019 menguat 0,85 persen, sehingga kondisi tersebut diharapkan mendorong kembali aliran masuk modal asing dan makin memperkuat nilai rupiah.

"Modal Indonesia untuk mewaspadai perang dagang itu didukung dengan kondisi politik Indonesia yang stabil, setelah pemilu yang berakhir dengan damai," katanya.

Menurutnya, banyak investor yang percaya bahwa demokrasi di Indonesia sudah berjalan baik, sehingga mereka nyaman berinvestasi di Indonesia, buktinya ketika pemerintah Indonesia menerbitkan obligasi Samurai Bond kepada investor di Jepang, tetap banyak yang tertarik bahkan dengan jangka waktu imbal hasil selama lima belas tahun, sehingga hal itu bukti Indonesia masih dipercayai oleh investor.


Diskusi terarah itu dimoderatori oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember M Miqdad, dengan dihadiri para akademisi dari kalangan internal Universitas Jember dan perguruan tinggi negeri dan swasta di wilayah Besuki Raya.

Dalam kesempatan itu, M Miqdad membeberkan sembilan hal yang patut mendapatkan perhatian pemerintah dan Bank Indonesia, di antaranya menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di saat perekonomian dunia lesu, menjaga tingkat inflasi, memperkuat daya saing Indonesia dan menjaga kemandirian pangan, serta mewaspadai deindustrialisasi.

"Pemerintah juga perlu meningkatkan tax ratio, dan pengawasan subsidi energi yang diagendakan, dan antisipasi terhadap pertumbuhan ekonomi digital dalam rangka Revolusi Industri 4.0," katanya.

Baca juga: CSIS: Kebijakan strategis dibutuhkan Indonesia hadapi perang dagang AS-China
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024