Remaja dengan keluarga yang akrab jarang depresi

id depresi

Remaja dengan keluarga yang akrab jarang depresi

ilustrasi depresi (reuters.com)

Remaja yang merasakan lebih banyak keakraban dalam keluarga dan lebih sedikit mengalami konflik dengan orang tua cenderung jarang mengalami gejala-gejala depresi hingga paruh baya daripada remaja yang tidak memiliki hubungan positif tersebut dalam ke
Yogyakarta (ANTARA) - Remaja dengan hubungan keluarga yang positif cenderung lebih jarang mengalami depresi selama masa remaja atau masa awal kedewasaan, menurut penelitian baru-baru ini.

Para peneliti mengikuti 18.185 relawan sejak mereka rata-rata berusia 15 dan berlanjut hingga umur 32 sampai 43 tahun. Dalam sebuah rangkaian survei, para peneliti menanyai mereka tentang dinamika keluarga dan gejala depresi.

Remaja yang merasakan lebih banyak keakraban dalam keluarga dan lebih sedikit mengalami konflik dengan orang tua cenderung jarang mengalami gejala-gejala depresi hingga paruh baya daripada remaja yang tidak memiliki hubungan positif tersebut dalam keluarga, sesuai dengan hasil analisis.

“Hubungan keluarga yang erat dan tingkat konflik orang tua-anak yang rendah tidak hanya melindungi remaja dari depresi dalam masa yang sensitif dan rentan, namun juga mendorong kesehatan mental pada masa awal kedewasaan dan paruh baya,” ujar asisten peneliti Ping Chen dari University of North Carolina di Chapel Hill.

Namun, manfaat tersebut berbeda pada pria dan wanita.

“Wanita mendapat lebih banyak keuntungan dari hubungan keluarga yang positif daripada pria, terutama pada remaja awal usia 20,” kata Chen melalui surel.

“Tetapi tingkat konflik orang tua-anak yang rendah sepertinya lebih bermanfaat dalam jangka panjang bagi pria selama masa awal kedewasaan ketimbang bagi wanita.”

Untuk menilai dinamika keluarga, para peneliti menanyai para remaja tersebut tentang seberapa sering mereka merasa dipahami, bersenang-senang bersama keluarga,  dan mendapatkan perhatian. Peneliti juga menanyakan tentang konflik orang tua dan anak serta seberapa sering para remaja terlibat dalam pertengkaran serius dengan orang tua mengenai perilaku mereka.

Akan tetapi, mereka kekurangan data tentang dinamika keluarga atau hubungan sebelum masa remaja yang dapat mempengaruhi kesehatan mental, tegas tim peneliti di JAMA Pediatrics seperti dikutip reuters.com

“Penelitian ini tidak dapat menentukan apakah hubungan orang tua dan anak menyebabkan depresi atau tidak, serta tidak menjelaskan mengapa keduanya dapat dihubungkan,” ucap Dr Rebecca Dudovitz, peneliti di David Geffen School of Medicine di UCLA yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

“Namun, ada sebuah teori yang menyebutkan bahwa hubungan keluarga yang sehat memberikan dukungan sosial dan landasan di otak serta tubuh untuk memberikan respons yang sehat terhadap situasi yang membuat stres,” ujar Dudovitz melalui surel.

“Jika remaja dan dewasa muda dihadapkan dengan stres, mereka dapat menghadapinya dengan lebih mudah dan pulih dari stres lebih cepat, yang mana membantu menghindari depresi.”

Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa remaja yang hidup di lingkungan rumah yang mendukung dengan para pengasuh yang memahami serta memberikan perhatian kepada mereka dapat membantu membangun perasaan positif yang mampu menolong para remaja untuk lebih mudah menghadapi naik dan turunnya kehidupan, kata Chen.

“Hubungan yang akrab mampu menjadi sumber dukungan sosial serta emosional yang mendorong perkembangan kemampuan menghadapi sumber stres remaja yang berubah-ubah dan menumpuk,” imbuh Chen. “Kemampuan dalam menghadapi masalah yang berkembang pada masa remaja ini akan terbawa ke tahap kehidupan selanjutnya, membantu dewasa muda menghadapi stres tambahan di hidup seiring mereka menua.”

Pada saat yang sama, remaja tanpa kedekatan keluarga yang mendukung akan kesulitan mengembangkan kemampuan ini, ujar Chen. Mereka justru mungkin mengembangkan lebih banyak perasaan negatif dan kepercayaan diri rendah serta memasuki kedewasaan dengan kemampuan yang kurang untuk menghadapi stres.

Sementara itu kedekatan keluarga menjadi satu kepingan teka-teki, banyak faktor lain dapat mempengaruhi risiko depresi, ucap Chen.

“Tidak seorangpun tahu pasti apa yang menyebabkannya,” dan faktor seperti genetik, perlakuan kejam, atau penyakit serius dapat ikut berperan," tegas Chen.

“Remaja dalam keluarga yang tidak terlalu akrab tidak harus hancur oleh depresi seumur hidup,” ucap Chen.

“Mereka mungkin dapat menemukan sumber dukungan sosial yang serupa dan memperoleh kemampuan menghadapi masalah melalui hubungan sosial lain dengan teman, dalam institusi religius, dan lainnya, serta komunitas lokal.”



 
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024