Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga: Radikalisme membajak agama

id Radikalisme

Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga: Radikalisme membajak agama

Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryono Abdul Ghafur. ANTARA/dokumentasi pribadi

Jakarta (ANTARA) - Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryono Abdul Ghafur mengatakan umat beragama selayaknya tidak marah dengan istilah radikalisme, tetapi mestinya marah ketika ajaran agama itu justru dibajak oleh kelompok-kelompok radikal.

Dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Jumat, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama ini mengatakan bahwa manusia harus mempunyai komitmen bukan hanya keagamaan, melainkan juga komitmen kemanusiaan.

"Di sini komitmen kemanusiaan  harus lebih banyak dibunyikan karena akan menjadi argumen utama bahwa sikap radikal yang tidak memanusiakan manusia itu justru atas nama apa pun tetap salah," katanya menegaskan.

Pria kelahiran Cirebon, 10 Oktober 1972, ini melanjutkan, "Di sini kita yang harus marah dan tegas kalau ada yang membajak agama untuk tindakan radikal. Ini yang harus dikedepankan oleh siapa pun, terutama tokoh-tokoh agama dan juga tokoh masyarakat."

Menurut dia, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tidak ada juga agama yang radikal, tetapi cara sebagian orang dalam beragama yang kemudian menyebabkan timbulnya stigma radikal dan ekstrem (ghuluw).



Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi di UIN Sunan Kalijaga ini juga mengatakan bahwa melawan kelompok-kelompok radikal yang sering menggunakan agama itu ternyata tidak efektif kalau menggunakan jargon Pancasila.

"Justru untuk melawan jargon-jargon dan narasi mereka tentunya harus kita lawan dengan jargon agama juga. Bahwa agama yang sesungguhnya itu tidak mengajarkan kekerasan seperti itu," kata dia menandaskan.

Dengan demikian, lanjut dia, ada semacam counter wacana dan counter discuss. Akan tetapi, kalau kelompok-kelompok radikal tersebut yang dari awal sudah anti-NKRI maupun anti-Pancasila dan dijawab atau dilawan dengan Pancasila tentu akan kontraproduktif atau sia-sia saja.

"Jadi, harus kita jawab dengan jargon agama yang mereka juga pakai agama. Kalau mereka itu sudah anti-NKRI maupun anti-Pancasila lalu malah kita suguhi dengan Pancasila, ya, makin resisten," kata mantan Wakil Syuriah Nahdatul Ulama (NU) Kota Yogyakarta itu.



Ia menekankan, "Tentunya yang melawan pun juga harus memiliki ilmu agama yang cukup mumpuni. Jangan sampai ilmu agamanya pas-pasan lalu kalah sama kelompok itu."

Pria yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan di kampus yang sama itu menuturkan bahwa lembaga pendidikan juga memiliki peranan yang sangat penting untuk menangkal paham radikal. Pasalnya, di lembaga pendidikan itu ada guru, ada dosen yang akan memberikan pelajaran kepada anak didiknya.

Kendati demikian, harus dipastikan pula bahwa para pendidik ini jauh dan tidak terpapar dari paham-paham radikalisme dan terorisme tersebut.

"Kemendikbud dulu, misalnya, juga pernah kecolongan saat ada buku yang mengajarkan radikalisme. Jangan sampai hal itu terjadi lagi. Pendidikan itu penting tetapi yang harus dilihat itu juga sistem, guru, atau tenaga pendidik, buku-bukunya dan juga kurikulumnya," katanya.
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024