Warga Desa Sindumartani menolak penambangan di aliran Sungai Gendol

id Penambangan di Gendol,Desa sindumartani,Sungai gendol,Banjir lahar,CV Kayon

Warga Desa Sindumartani menolak penambangan di aliran Sungai Gendol

Warga Desa Sindumartani memasang sejumlah tulisan berisi penolakan terhadap rencana penambangan pasir di Sungai Gendol. Foto Antara/Victorianus Sat Pranyoto

Sleman (ANTARA) - Warga enam padukuhan di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menolak rencana penambangan pasir dan batu di aliran Sungai Gedol oleh CV Kayon dengan menggunakan alat berat.

"Kami khawatir kegiatan penambangan di Gendol berdampak pada lingkungan dan menghilangkan suplai air bersih untuk warga," kata Basuni warga Padukuhan Jambon Lor, Sindumartani di Sleman, Kamis.

Menurut dia, ada enam padukuhan yang tegas menolak kegiatan penambangan di aliran sungai berhulu di Gunung Merapi tersebut.

Keenam padukuhan tersebut yakni Padukuhan Pencar, Kentingan, Murangan, Tambakan, Jambon Lor dan
Jambon Kidul.

"Selama ini masyarakat mendapatkan air dari sumur yang dibuat di Sungai Gendol. Kalau ditambang nanti kami dapat air dari mana," katanya.

Ia mengatakan di Sungai Gendol ada empat titik sumur yang dihubungkan ke tandon air. Dari bak penampungan, air kemudian disalurkan untuk warga.

"Ini baru untuk warga Tambakan. Belum untuk warga Jambon dan lainnya," katanya.

Keberadaan sumur-sumur itu, menurutnya, vital untuk masyarakat, karena ada 600 kepala keluarga (KK) yang bergantung dari sumur di Sungai Gendol.

"Selain untuk kebutuhan air bersih juga untuk pengairan lahan pertanian," katanya.

Basuni mengatakan permasalahan juga muncul saat musim hujan karena lokasi penambangan sangat dekat dengan tanggul penahan banjir lahar.

"Kami juga khawatir jika dampaknya akan membuat tanggul jebol akibat lahar hujan. Karena tanggul dan dasar sungai sudah rata. Kalau ditambang nanti pas banjir bahaya," katanya.

Ia mengatakan rencana penambangan di Desa Sindumartani sudah ada sejak 2016. Juga oleh CV Kayon. Namun, waktu itu pemerintah desa dan warga sepakat untuk menolak.

"Baru pada awal 2019 rencana itu kembali mencuat. Sosialisasi dari pengusaha tambang sudah pernah dilakukan. Hanya dia menyayangkan sosialisasi tidak menyeluruh kepada semua warga. Hanya kepada yang setuju saja," katanya.

Dalam sosialisasi tersebut, kata dia, diketahui luas lahan yang akan ditambang mencapai 5,06 hektare. Per hari ditarget 36 rit truk muatan golongan C.

"Kontraknya selama empat tahun 11 bulan dengan masa kerja 600 hari. Kalau dari proposalnya seperti itu," katanya.

Menurut dia, sejauh ini sudah ada berbagai upaya mediasi Baik di tingkat desa, kecamatan atau kabupaten. Namun semuanya mentah.

"Kami berharap pemerintah tidak meloloskan izin lingkungan. Mengingat dampak yang akan ditimbulkan. Masyarakat akan bergerak jika ini benar akan ditambang, karena ini masalah air dan lingkungan," katanya.

Berdasar pantauan di lokasi, banyak spanduk bernada penolakan. Saat ini belum ada aktivitas penambangan apapun, alat berat juga belum diturunkan.

Hanya saja, pihak CV telah membuat bangunan permanen dua lantai yang menurut informasi akan digunakan sebagai kantor.

Kepala Desa Sindumartani Midiyono mengaku tidak bisa berbuat banyak karena desa tidak punya kewenangan untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan.

"Kewenangan terkait izin diserahkannya pada pemerintah kabupaten atau provinsi. Kami di pemerintah desa netral. Kami sudah membantu masalah mediasi tapi tidak menghasilkan keputusan apa-apa," katanya.

Sementara itu lokasi kantor CV Kayon, masih berlangsung aktivitas pembangunan kantor. Beberapa orang perwakilan CV Kayon juga ada di lokasi dengan menggunakan mobil Avanza silver pelat merah.

"Saya tidak tahu (kalau masalah tambang). Saya hanya mengawasi proyek pembangunan kantor saja," kata salah satu pekerja CV Kayon Zulfakar Indra Sakti.
Warga Desa Sindumartani memasang sejumlah tulisan berisi penolakan terhadap rencana penambangan pasir di Sungai Gendol. Foto Antara/Victorianus Sat Pranyoto
Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024