Jejak Dr. Sardjito sebagai Ilmuwan Pejuang Indonesia

id sardjito,pahlawan nasional,dr sardjito

Jejak Dr. Sardjito sebagai Ilmuwan Pejuang Indonesia

Rektor Universitas Gadjah Mada, Panut Mulyono, berpidato dengan latar belakang lukisan Prof Dr Mas Sardjito. ANTARA/HO Humas UGM

Yogyakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki banyak tokoh berjasa dalam bidang kesehatan, salah satu diantaranya adalah Prof. Dr. Mas Sardjito yang kini telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Mas Sardjito yang lahir di Desa Purwodadi Kabupaten Magetan, Madiun Jawa Timur, 13 Agustus 1891, ini merupakan merupakan salah satu pendiri sekaligus rektor pertama Universitas Gadjah Mada pada1950-1961.

Sardjito yang namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) di Yogyakarta itu berjasa bagi bangsa Indonesia lewat kiprahnya dalam peperangan dengan membantu pengobatan darurat bagi para gerilyawan pada masa penjajahan.

Sardjito juga merupakan salah satu tokoh pendiri Palang Merah Indonesia (PMI) dan tokoh farmasi. Ia adalah tokoh pembuat obat tradisional dan modern.

Ia mendapat amanat pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Institut Pasteur yang merupakan bentukan Belanda dan menjadi Kepala Palang Merah Indonesia (PMI) Bandung. Didirikan pada 9 September 1945, PMI itu merupakan yang pertama didirikan di Indonesia.

Juga baca: Jalan dakwah KH Kahar Mudzakkir

Juga baca: Ruhana Kuddus sosok wartawati yang melampaui zaman

Juga baca: Enam Pahlawan Nasional, dari wartawati hingga rektor pertama UGM

Juga baca: Presiden Jokowi beri gelar pahlawan kepada enam tokoh

Dalam masa revolusi fisik dan penuh dengan keterbatasan, Sardjito menyuplai obat-obatan berbagai vaksin serta bervitamin dari Pasteur Bandung ke Klaten dan masuk Yogyakarta.

Kala itu, Sardjito juga sempat menciptakan makanan ransum bernama Biskuit Sardjito untuk para tentara pelajar yang sedang berjuang di medan perang.

Selain biskuit, guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Prof Sutaryo, menyebutkan, Sardjito juga membuat nasi aking sebagai bekal bagi para pejuang.

"Bahkan salah satu pejuang yang kini tinggal di Lempuyangan, Yogyakarta, masih hidup. Menurut pengakuannya kalau sudah makan nasi dan nasi aking maka seharian tidak lapar," kata Sutaryo.

Sardjito juga mendirikan RS Darurat PMI dan melalui rumah sakit yang dibangunnya, ia pun melakukan penyelundupan senjata untuk pejuang-pejuang kemerdekaan.

Tidak hanya berjasa bagi bangsa Indonesia lewat kiprahnya dalam peperangan dengan membantu pengobatan darurat dan pembuatan obat bagi para gerilyawan pada masa penjajahan, riset serta penelitiannya di bidang kedokteran pun turut andil dalam perkembangan medis di dunia.

WHO dalam edaran resminya yang diterbitkan pada 1960 memasukkannya dalam daftar panel ahli pada bidang Serology and Laboratory Aspects. Serologi merupakan salah satu cabang imunologi yang mempelajari reaksi antigen-antibodi secara in vitro.

Populerkan Candi Borobudur
Tak hanya di bidang kesehatan, Sardjito juga memiliki ketertarikan khusus pada bidang budaya. Sejak tahun 1951 Sardjito dipilih menjadi Ketua Delegasi Indonesia untuk UNESCO.

Ia pernah melakukan penelitian tentang pahatan di Candi Borobudur. Hasil penelitian tersebut kemudian ia beri judul The Revival of Sculpture in Indonesia yang disampaikannya pada Science Congress pada 1953 di Manila. Filipina.

Temuan tersebut turut mempopulerkan Candi Borobudur di kancah dunia.

Menurut Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono, Sardjito adalah sosok yang sejak muda dikenal pandai, tekun dan memiliki semangat di bidang kesehatan dan pendidikan.

Sardjito semasa hidupnya juga telah memperlopori Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai bentuk pengabdian dunia pendidikan tinggi kepada masyarakat.

Alulmni STOVIA itu juga dikenal sebagai peletak Pancasila sebagai dasar perguruan tinggi di Indonesia.

"Semoga kita dapat meneladani semangat dan ketulusan almarhum dalam berjuang bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Almarhum Prof. Sardjito adalah ilmuwan pejuang dan pejuang ilmuwan," kata Panut.

Selain menjadi rektor UGM, Sardjito juga tercatat pernah menduduki jabatan sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) pada 1964-1970.

Berkat tangan dingin Sardjito, UII dapat menjadi perguruan tinggi swasta pertama dengan status disamakan. Status tersebut merupakan status tertinggi bagi perguruan tinggi swasta di era 60-an.

Rektor UII Fathul Wahid menyebut Sardjito sebagai sosok rektor yang sangat unik dan luar biasa yang pernah di miliki UII.

Selama menjabat sebagai rektor di kampus itu, Sardjito tidak pernah mau menerima gaji dan tidak mua menerima uang sidang. "Karena bagi beliau memberi akan membuat kita menjadi kaya," kata Fathul.