Lima PKL aksi "tapa pepe" di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta

id PKL,tapa pepe,keraton yogyakarta

Lima PKL aksi "tapa pepe" di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta

Lima orang pedagang kaki lima (PKL) Gondomanan Kota Yogyakarta melakukan aksi "tapa pepe" atau berjemur dengan duduk bersila di Alun-Alun Utara atau tepat di depan gerbang Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin (11/11). (FOTO ANTARA/Luqman Hakim)

Yogyakarta (ANTARA) - Lima orang pedagang kaki lima (PKL) di Perempatan Gondomanan, Jalan Brigjend Katamso, Kota Yogyakarta melakukan aksi "tapa pepe" atau berjemur dengan duduk bersila di Alun-Alun Utara atau tepat di depan gerbang Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin.

Lima PKL itu adalah Budiyono tukang kunci, Sutinah penjual minuman siang hari, Agung tukang kunci, Sugiyadi penjual bakmi dan Suwarni penjual minuman malam hari.

Mereka melakukan aksi itu untuk mengadu kepada Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X karena pada Selasa (12/11) Pengadilan Negeri Yogyakarta akan mengeksekusi tanah yang mereka tempati untuk berdagang.

"Mau mengadu Sultan bagaimana pendapatnya Sultan kalau rakyatnya yang kecil mau digusur," kata Sugiyadi saat ditemui di sela aksinya.

Sugiyadi mengatakan telah menerima surat dari Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta Nomor W13 UI/5812/HK.02/X/2019 perihal koordinasi pelaksanaan eksekusi.

Dalam surat itu PN Yogyakarta menyebutkan akan melakukan eksekusi pengosongan sebidang tanah pada Selasa (12/11) berdasarkan surat perjanjian pinjam pakai (kekancingan) tanah Sultan HB X seluas 28 meter persegi untuk diserahkan kepada penggugat Eka Aryawan.

Sugiyadi mengaku telah menempati lahan itu untuk berjualan sejak 20 tahun silam. Dia menggunakan lahan itu secara turun temurun dari keluarganya yang sudah menggunakan lahan tersebut sejak 1960.

"Dulu sudah ada surat kesepakatan boleh jualan di luar tanah kekancingan. Kalau kami di gusur sudah tidak bisa mencari mata pencaharian lagi," kata dia.

Kuasa Hukum PKL dari LBH Yogyakarta, Budi Hermawan mengatakan pada 1960 para PKL menempati lahan itu berdasarkan arahan dari Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamangku Buwono IX dengan tujuan menekan angka kriminalitas mengingat dahulu tempat itu merupakan kawasan yang sepi.

"Dalam perjalanannya dari 1960 itu teman-teman PKL ini sudah turun temurun generasi, dan ini generasi kedua yang memanfaatkan tempat di sana," kata dia.

Karena itu merupakan lahan milik Keraton, pada 2010, para pedagang PKL tersebut telah berusaha mengajukan surat kekancingan (hak pinjam pakai) ke Panitikismo Keraton Yogyakarta, namun saat itu keraton menyatakan sedang tidak menerbitkan kekancingan.

Namun, pada 2011, pengusaha bernama Eka Aryawan justru memperoleh kekancingan dari Keraton di lahan itu.

Karena mengklaim sebagian dari lahan seluas 73 meter persegi itu ditempati PKL, maka Eka pada 2015 menggugat mereka Rp1 miliar dan meminta mengosongkan lapak mereka.

Padahal, kata Budi, merujuk pada putusan hakim, tidak ada pernyataan hakim yang menyatakan bahwa 28 meter persegi yang kini ditempati PKL merupakan bagian dari lahan kekancingan seluas 73 meter persegi yang ditempati Eka Aryawan. "Artinya itu tetap di luar (kekancingan) sesuai dengan perjanjian. Maka kalau mau dieksekusi, apa yang mau dieksekusi?" kata dia.

Oleh sebab itu, Budi mengatakan salah satu alasan mendampingi lima PKL melalukan aksi "tapa pepe" adalah untuk meminta kebijaksanaan dari Keraton Yogyakarta selaku pihak yang berwenang melakukan penguasaan atas tanah itu.

"Karena masalah ini juga munculnya karena pemberian tanah kekancingan itu tidak melalui cek lapangan sehingga (tanah) seluas 73 meter perseginya menimbulkan konflik," kata dia.

Sementara itu, Kuasa Hukum Kraton Yogyakarta, Acil Suyanto justru mempertanyakan mengenai rencana eksekusi tanah tanah dan bangunan yang akan dilakukan PN Yogyakarta.

Acil menilai rencana PN Yogyakarta itu tidak pada tempatnya karena tanah itu milik Keraton Yogyakarta dan tidak bersengketa.

"Keraton pun mempertanyakan yang mau dieksekusi apanya. Tanah itu kan tidak bersengketa. Tanah itu milik Keraton, yang bersengketa itu hak (penggunaannya)," kata dia.
Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024