Dinkes Sleman: terjadi 692 kasus DBD dengan satu meninggal dunia

id Demam berdarah,Dinkes sleman,Kabupaten Sleman,Sleman,Nyamuk

Dinkes Sleman: terjadi 692 kasus DBD dengan satu meninggal dunia

Nyamuk Aedes Agypti menjadi vektor pembawa penyakit demam verdarah. (ANTARA/HO)

Sleman (ANTARA) - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencatat jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) di wilayah setempat terhitung hingga akhir November 2019 mencapai 692 kasus dan satu pasien di antaranya meninggal dunia.

"Dari sejumlah kasus tersebut, kecamatan dengan kasus DBD terbanyak adalah Kecamatan Depok, Gamping, dan Mlati," kata Kepala Dinkes Kabupaten Sleman Joko Hastaryo di Sleman, Rabu.



Menurut dia, tingginya jumlah kasus di Kecamatan Depok dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, sehingga menjadi lokasi penderita DBD terbanyak di Sleman.

"Selain itu, ada kemungkinan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang tidak optimal. Banyak rumah yang tidak ditempati, itu menjadi penyebab," katanya.

Ia mengatakan, diakui cukup sulit membedakan asal nyamuk Aedes Aegypti yang menyerang warga Sleman itu, apakah berasal dari Sleman atau luar Sleman, atau dengan kata lain bisa saja pasien digigit saat tak berada di Sleman namun diagnosis DBD di rumah sakit Sleman.

"Sebab aktivitas orang Sleman juga tidak hanya terpusat di Sleman. Tetapi juga bekerja di luar Sleman. Sehingga kalau ada yang positif terinveksi DBD, kami lakukan penyelidikan di tempat dia tinggal atau aktivitas," katanya.



Joko mengatakan, untuk mencegah meningkatnya kasus DBD yang saat ini memasuki siklus empat tahunan di Sleman, maka Dinkes mengeluar surat edaran yang berisikan imbauan menggalakkan jumantik dan optimalisasi PSN di tingkat masyarakat.

"Tujuannya untuk memutus rantai penularan DBD," katanya.

Ia mengatakan, proyek percontohan penyebaran nyamuk Wolbachia di salah satu desa di Kecamatan Gamping, diakui cukup efektif dalam mengurangi kasus DBD. Hanya saja, sebagai proyek riset pencontohan, uji dan penerapannya belum dilakukan di tempat lain.

"Harus ada uji, setelah itu dilaporkan ke Kementerian Kesehatan. Hasilnya seperti ini, seperti itu, baru Kemenkes uji di beberapa wilayah. Harus ada tahapan seperti itu," katanya.


 
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024