Masyarakat Yogyakarta diingatkan tentang kejadian "kiamat sampah"

id Sampah,TPA Piyungan,Yogyakarta,kiamat sampah

Masyarakat Yogyakarta diingatkan tentang kejadian "kiamat sampah"

Ilustrasi petugas DLH Kota Yogyakarta menyemprot disinfektan di tumpukan sampah di salah satu tempat pembuangan sampah sementara (HO-DLH Kota Yogyakarta)

kejadian sekitar satu tahun lalu tersebut harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran berharga bagi seluruh warga Kota Yogyakarta dalam mengelola sampah yang dihasilkan sehingga tidak selalu bergantung pada TPA Piyungan.

Yogyakarta (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta mengingatkan masyarakat setempat untuk bijak mengelola sampah sehingga kejadian “kiamat sampah” hampir satu tahun lalu, 23-29 Maret 2019, saat sampah di tempat pembuangan sampah sementara tidak terangkut ke TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, tidak lagi terulang.

“Seluruh warga Yogyakarta harus mengingat kejadian pada 23-29 Maret 2019, kiamat sampah, karena sampah tidak bisa terangkut ke TPA Piyungan yang ditutup,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Suyana di sela sosialisasi Program Kampung Iklim (Proklim) di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, kejadian sekitar satu tahun lalu tersebut harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran berharga bagi seluruh warga Kota Yogyakarta dalam mengelola sampah yang dihasilkan sehingga tidak selalu bergantung pada TPA Piyungan.

Baca juga: Bantul dorong masyarakat bertanggung jawab mengelola sampah

Saat terjadi penutupan TPA Piyungan sekitar setahun lalu, sampah yang dihasilkan warga Kota Yogyakarta menumpuk di tempat pembuangan sampah dan depo-depo sampah bahkan meluber hingga jalan dan menimbulkan bau tidak sedap.

DLH Kota Yogyakarta bahkan harus mengerahkan petugas untuk penyemprotan desinfektan ke tumpukan sampah guna mengurangi bau busuk yang menyengat.

“Setahun yang lalu, saat TPA Piyungan dibuka kembali dan kami bisa membersihkan tumpukan sampah yang sudah menggunung di depo-depo sampah, kami bahkan menemukan sepeda motor roda tiga yang tertimbun sampah di depo Purawisata,” katanya.

Pembersihan sampah dari Depo Purawisata membutuhkan 28 kali pengambilan menggunakan truk sampah ukuran besar.

Oleh karena itu, Suyana berharap masyarakat bisa melakukan pengurangan dan pengelolaan sampah sejak dari rumah tangga dengan memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik bisa dikelola menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik dimasukkan ke bank sampah.

“Dengan demikian, sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah adalah sampah yang benar-benar tidak bisa lagi digunakan,” katanya.

Semakin banyak sampah yang dibuang ke TPA Piyungan, lanjut Suyana, berpotensi meningkatkan produksi gas metana di lokasi tersebut. “Gas metana ini berbahaya karena bisa melubangi lapisan ozon. Jika ozon berlubang maka suhu udara di bumi akan mengalami kenaikan dan dampaknya bermacam-macam seperti banjir rob serta suhu udara terus naik,” katanya.

Sementara itu, Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, Pemerintah Kota Yogyakarta terus mendorong setiap wilayah bisa mengelola sampah secara mandiri.

“Uji coba dilakukan di Kecamatan Tegalrejo dengan memanfaatkan incinerator sampah. Sampah dikelola dengan cara dibakar hingga habis. Namun, masih ada kendala yang harus diselesaikan yaitu munculnya asap dari kegiatan pembakaran,” katanya.

Baca juga: Pemkab Sleman akan bangun dua TPST atasi masalah sampah

Kendala tersebut, lanjut Heroe, sedang diupayakan untuk diatasi dan jika sudah berhasil, model pengelolaan sampah tersebut akan diterapkan di seluruh wilayah Kota Yogyakarta. Di Kecamatan Tegalrejo dilakukan uji coba menggunakan tiga incinerator.

“Tujuan awalnya adalah menekan sebanyak mungkin sampah yang harus dibuang ke TPA Piyungan. Masalah sampah harus selesai di wilayah,” katanya.

Selain wilayah, Heroe juga meminta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta agar pengelolaan sampah di pasar tradisional juga bisa dilakukan secara mandiri sehingga tidak tergantung dengan keberadaan TPA Piyungan.

Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024